Ada Apa dengan Flexing dan Bagaimana Umat Muslim Menyikapinya?

Media sosial tengah ramai membincangkan istilah baru dewasa ini: flexing. Istilah ini mencuat hebat setelah banyak diketahui tindakan social media-flexing dari beberapa anak pejabat. Beberapa ahli Bahasa mengartikan flexing popular dengan ‘pamer’. Menurut kamus Merriam Webster, misalnya kata flexing berasal dari “flex” yang bermakna menunjukkan atau mendemonstrasikan. Mulanya, kata ini diartikan sebagai tindakan menunjukkan sesuatu namun istilah dewasa ini lebih pada pamer terhadap barang-barang mewah di media sosial. Ada apa dengan flexing dan bagaimana kita sebagai umat muslim menyikapi tindakan ini?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Allah Swt berfirman dalam Surah al-Baqarah ayat 274

اَلَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ اَمْوَالَهُمْ بِالَّيْلِ وَالنَّهَارِ سِرًّا وَّعَلَانِيَةً فَلَهُمْ اَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْۚ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُوْنَ

“Orang-orang yang menginfakkan hartanya pada malam dan siang hari, baik secara rahasia maupun terang-terangan, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada rasa takut pada mereka dan tidak (pula) mereka bersedih.” (Qs. al-Baqarah/2: 274)

Baca Juga: Bulan Syaban dan Doa Kontekstual 

Ayat di atas sesungguhnya isyarat bahwa sebagai makhluk sosial, manusia membutuhkan pengakuan atas pencapaian maupun tindakannya. Terlebih jika yang ia lakukan adalah perbuatan baik/ amal shalih. Sebab barangkali, perbuatan baiknya bisa menjadi inspirasi dan akhirnya banyak diikuti orang yang melihatnya. Perihal sedekah, baik secara sembunyi maupun terang-terangan dan memperlihatkan pada orang lain; disebutkan secara eksplisit dalam ayat tersebut. Bukti bahwa Allah Maha Mengetahui, ada sebagian orang yang lebih nyaman bersedekah secara diam-diam, namun ada pula yang melakukannya secara terang-terangan. Bahkan, Allah memberikan ganjaran yang sama atas sedekah yang dilakukan dengan dua cara di atas.

Namun, perlu kita sama-sama ketahui dan sadari, konteks bersedekah secara terang-terangan di atas dipertegas dan memiliki keterhubungan (munasabah) dengan ayat yang telah terurai sebelumnya (yakni Qs. 2/264) yakni tentang konsep menjaga diri dan menjaga hati orang yang kita beri. Jangan sampai pahala sedekah/ berbagai batal karena seseorang menyebut-nyebut apa yang telah ia beri, menyakiti hati perasaan penerima atau bahkan ingin dilihat/riya’ (pamer) “Wahai orang-orang yang beriman, jangan membatalkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima), seperti orang yang menginfakkan hartanya karena riya (pamer) kepada manusia, sedangkan dia tidak beriman kepada Allah dan hari Akhir. Perumpamaannya (orang itu) seperti batu licin yang di atasnya ada debu, lalu batu itu diguyur hujan lebat sehingga tinggallah (batu) itu licin kembali. Mereka tidak menguasai sesuatu pun dari apa yang mereka usahakan. Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum kafir.

Bersedekah ataupun aksi-aksi perbuatan baik lainnya yang dapat kita lakukan kapanpun dimanapun sesungguhnya tak lepas dari naluri baik yang dimiliki manusia; perasaan ingin berbagi. Namun di era kecanggihan teknologi dewasa ini, kita dituntut untuk mampu beradaptasi dan menyesuaikan diri; mana informasi yang bisa kita bagi dan mana yang harus disimpan secara pribadi. Flexing (pamer) harta, pencapaian, status sosial atau apapun yang kita miliki di dunia nyata kemudian di-sharing ke dunia maya seringkali juga melahirkan banyak persepsi dan konsekuensi. Dari mulai hilangnya privasi sampai perasaan tidak aman & nyaman karena bisa jadi dampak berbagi informasi secara berlebihan (over-sharing) justeru menjadi boomerang bagi diri sendiri. Betapa banyak kejahatan di dunia maya karena data diri yang sengaja/ tidak sengaja kita bagi.

Baca Juga: Teladan Surah Luqman Bagi Sufi Sepanjang Zaman

Dalam Islam sendiri, Rasulullah saw sesungguhnya banyak memberi teladan mengenai kesederhanaan dan sikap Qanaah (merasa cukup). Rasulullah seringkali berpuasa jika tidak ada makanan di rumahnya dan menjauhkan diri dari hidup bermewah-mewahan. Jangankan bermewah-mewah, rumah Rasulullah saja dikenal sebagai rumah yang sangat sederhana. Baju yang beliau kenakan sederhana, cara beliau makan, minum, berjalan semuanya serba sederhana, tidak berlebih-lebihan (ishraf).

Meski hidup dalam kesederhanaan, Rasulullah saw ialah sosok yang penyantun dan penyayang kepada mereka yang membutuhkan. Kesederhanaan tidak menghalangi beliau untuk senantiasa berbuat baik pada orang lain apapun jenis kelamin dan agamanya. “Makanlah, bersedekahlah, dan berpakaianlah, dengan tidak berlebihan dan tidak angkuh.” (Hadis Shahih, Riwayat al-Nasa’i: 2512, Ibnu Majah: 3595, dan Ahmad: 6408). Demikian pesan Rasulullah untuk kita semua. Semoga bisa kita praktikkan sama-sama, ya!

Dr. Ina Salmah Febriani, M.A., Ustadzah di Cariustadz.id

Tertarik mengundang ustadz Dr. Ina Salmah Febriani, M.A? Silahkan klik disini