Akal Mengemudi, Hati Menuntun: Jalan Menuju Kebahagiaan Hidup

Kehadiran Islam dengan syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW adalah bentuk kasih sayang Allah kepada manusia. Tujuannya jelas  agar manusia bisa menjalani hidup dengan selamat dan bahagia—baik di dunia maupun di akhirat. Agar syariat ini dapat dipahami dan dijadikan pedoman hidup, Allah menganugerahkan dua hal penting kepada manusia, yaitu akal dan hati.

Akal berfungsi untuk memahami dan merenungi makna kehidupan, sedangkan hati membantu kita merasakan dorongan untuk memilih kebaikan dan tetap berada di jalan yang lurus. Imam al-Ghazali pernah menyampaikan:

ٱلْعَقْلُ أَصْلُ ٱلدِّينِ، وَمَنْ لَا عَقْلَ لَهُ لَا دِينَ لَهُ

“Akal merupakan pokok agama. Barang siapa tidak memiliki akal, maka ia tidak memiliki agama.”

Agar hidup kita bisa berjalan menuju kebaikan dan melahirkan kebahagiaan sejati, maka peran akal sehat dan hati yang bersih harus digunakan secara seimbang. Keduanya sangat penting, terutama dalam dua hal berikut:

Menjadikan akal sehat sebagai dasar menjalani hidup

Dalam hidup ini, satu-satunya hal yang benar-benar bernilai abadi adalah kebaikan. Islam mengajarkan kita untuk terus berbuat baik dalam berbagai bentuk, selama hal itu sejalan dengan akal sehat. Dalam bahasa Islam, kebaikan ini bisa disebut sebagai birrun, khairun, atau ihsan.

Karena itu, hidup yang benar bukanlah hidup yang hanya mengejar kesenangan sesaat (hedonisme), tetapi hidup yang selaras dengan akal sehat dan mengikuti aturan yang telah ditetapkan oleh Allah di alam semesta ini.

Artinya, jika hidup kita tidak dilandasi oleh pemikiran jernih yang selalu cenderung kepada kebaikan, maka kita akan lebih mudah mengalami kegelisahan, kebingungan, bahkan kesedihan yang berlarut-larut.

Ibnu Qayyim al-Jauziyah berkata:

سَعَادَةُ ٱلْإِنسَانِ فِي كَمَالِ عَقْلِهِ، وَشَقَاوَتُهُ فِي نُقْصَانِهِ

“Kebahagiaan manusia terletak pada kesempurnaan akalnya, dan kesengsaraannya terletak pada kekurangannya.”

Bahkan, Al-Qur’an memberikan peringatan yang sangat serius kepada orang-orang yang telah diberi akal, tetapi tidak menggunakannya untuk berpikir secara bijak dan memilih jalan kebaikan. Mereka disamakan bahkan dianggap lebih sesat dari binatang ternak.

Allah SWT berfirman dalam Surah Al-A‘raf ayat 179:

Mereka memiliki hati, tetapi tidak digunakan untuk memahami. Mereka memiliki mata, tetapi tidak digunakan untuk melihat. Mereka memiliki telinga, tetapi tidak digunakan untuk mendengar. Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan lebih sesat. Mereka itulah orang-orang yang lalai.”

Memahami apa yang bisa dan tidak bisa dikendalikan.

 Hidup ini penuh misteri. Tidak semua hal bisa kita pastikan, apalagi kita kuasai sepenuhnya. Namun, ada hal-hal yang masih bisa kita upayakan, dan ada juga yang sepenuhnya berada di luar jangkauan kita. Karena itu, arah hidup kita sebaiknya difokuskan pada dua hal penting yaitu mengendalikan apa yang memang bisa kita kendalikan dan enerima dengan lapang dada hal-hal yang berada di luar kendali kita

Lalu, apa saja yang termasuk bisa kita kendalikan?

Yang berada dalam kendali kita adalah pikiran, emosi, tindakan, dan keputusan kita sendiri. Karena itu, Islam mengajarkan kita untuk menjaga prasangka, mengelola perasaan, dan bersikap bijaksana. Ini semua bagian dari upaya mengendalikan diri.

Islam juga menekankan pentingnya memaafkan (al-‘afwu) daripada sekadar meminta maaf. Karena saat kita mampu memaafkan, bukan hanya orang lain yang merasa lega, kita sendiri pun akan merasakan ketenangan yang lebih dalam.

Jangan sakiti hati yang tak bisa melawan, karena itu adalah bentuk kedzaliman. Islam mendorong kita untuk saling menyayangi dan tidak saling menyakiti. Ini adalah bentuk nyata dari pengendalian diri. Sebagaimana pesan sederhana namun dalam:

“Jika tanganmu belum mampu memberi, pastikan lidahmu tidak menyakiti.”

Lalu, apa saja yang berada di luar kendali kita?

Ada banyak hal misalnya cuaca, kematian, penyakit, pendapat orang lain, hingga berbagai peristiwa yang terjadi di luar keinginan kita. Kita tidak bisa mengatur isi pikiran atau sikap orang lain terhadap kita. Karena itu, berbuat baiklah tanpa harus menunggu pengakuan atau dipahami oleh orang lain.

Saat musibah datang atau bencana misalnya,  terjadi hal-hal yang jelas di luar kuasa kita, agama mengajarkan untuk bersabar secara aktif. Bukan sabar yang hanya diam, tapi sabar yang tetap berusaha, tetap tenang, dan tidak larut dalam keluhan atau penyesalan yang berlebihan.

Pada akhirnya, hidup yang tenang dan membahagiakan dapat diraih jika kita mampu menjalani dua hal berikut dengan seimbang yaitu mengendalikan apa yang memang bisa kita kendalikan, dan menerima dengan ikhlas apa yang memang berada di luar kendali kita.

Mabrur Inwan, M.Ag, Ustadz di Cariustadz

Tertarik mengundang Mabrur Inwan, M.Ag? Silakan Klik disini.