Al-Qur’an yang Kurang Membumi

Sudah saatnya umat Islam sadar bahwa Al-Qur’an sebagai kitab suci yang sudah berumur lima belas abad ini sejatinya tidak hanya berfungsi sebagai kitab yang dipajang di rak, dibaca sehabis sholat, atau ia hanya dilantunkan dengan bacaan yang indah semata. Pada kenyataannya, ini adalah tradisi yang sudah berlangsung lama di negeri kita. Padahal, al-Qur’an merupakan pedoman hidup (guidance) yang mengatur segala aspek kehidupan (way of life). 

Al-Qur’an yang semestinya menjadi petunjuk dalam berinteraksi dengan sesama, menjalani kehidupan sehari-hari, ataupun menegakkan keadilan, misalnya, seringkali tidak terimplementasikan dalam perilaku umat muslim. Pertanyaannya, Apakah al-Qur’an sudah benar-benar membumi dalam kehidupan masyarakat? Jawabannya tentu masih jauh panggang dari api. Al-Qur’an masih melangit. Ia hanya kita anggap sebagai wahyu yang suci, tanpa pernah kita gali isinya.

Surat al-Baqarah: 2:2 menegaskan bahwa ذٰلِكَ الْكِتٰبُ لَا رَيْبَ ۛ فِيْهِ ۛ هُدًى لِّلْمُتَّقِيْنَۙ, kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan di dalamnya; (ia merupakan) petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa. 

Orang yang bertakwa dalam ayat di atas digambarkan sebagai mereka yang berusaha menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah. Memang, ketika berbicara tentang aspek ritual seperti salat, puasa, zakat, dan haji, kita menjadi umat terdepan. Karena itu kita kadang mendapatkan label masyarakat religius. Akan tetapi kenapa kita sangat kurang dalam praktek ibadah-ibadah sosial atau ibadah ghairu mahdhah seperti menghormati sesama, menjaga kebersihan lingkungan, menegakkan keadilan, menjauhi perilaku korupsi, dll. Tentu masyarakat religius atau islami tidak bisa berhenti dalam tataran ibadah ritual semata.

Mari sesekali menengok ke kanan dan ke kiri. Sangat jauh sekali kualitas nilai sosial masyarakat kita bila dibandingkan dengan negara-negara yang notabene mayoritas non-muslim seperti Singapura, Jepang, Korea Selatan, Australia, New Zeland, dan masih banyak lagi. Sudah saatnya kita malu untuk membanggakan diri sebagai umat Muslim terbesar di dunia. Kita baru boleh bangga, minimal, ketika kita sudah tahu cara membuang dan mengolah sampah dengan baik. Kita membuang sampah di sungai saja merasa tidak bersalah dengan lingkungan. 

Bila al-Qur’an kurang membumi dalam kehidupan sehari-hari, berarti ada kesenjangan yang begitu besar antara cara kita berinteraksi dengan Al-Qur’an dibandingkan cara kita memahami dan mengamalkannya. Surat Al-Midah:5:8 misalnya, sangat menekankan tentang nilai keadilan dan persatuan, 

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُوْنُوْا قَوَّامِيْنَ لِلّٰهِ شُهَدَاۤءَ بِالْقِسْطِۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَاٰنُ قَوْمٍ عَلٰٓى اَلَّا تَعْدِلُوْا ۗاِعْدِلُوْاۗ هُوَ اَقْرَبُ لِلتَّقْوٰىۖ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌۢ بِمَا تَعْمَلُوْنَ

Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak (kebenaran) karena Allah (dan) saksi-saksi (yang bertindak) dengan adil. Janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlakulah adil karena (adil) itu lebih dekat pada takwa. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.

Ayat ini mengingatkan kita untuk selalu bersikap adil, meskipun dalam kondisi emosi. Ia juga senada dengan surat an-Nisa’:4:135 yang mana dalam buku Tafsir Al-Qur’an Tematik keluaran Kementerian Agama dijelaskan bahwa berlaku adil dalam masalah hukum yang disertai dengan kesaksian yang jujur adalah tonggak bagi kemaslahatan masyarakat. 

Namun, dalam banyak kasus, sikap adil ini masih sangat jarang ditemukan, baik dalam kehidupan politik, sosial, maupun pribadi. Dalam aspek politik, beragam berita selalu disuguhkan di media betapa keadilan dijual belikan. Yang mengadili saja masih mudah disogok. Padahal Nabi pernah bepesan, “Hakim itu ada tiga: Dua di antaranya masuk neraka, satu sisanya masuk surga” (Riwayat at-Tirmizi dan Abu Dawud dari Buraidah). 

Dalam kehidupan sosial, mereka yang merasa punya kuasa dalam menafsirkan agama masih sering semena-mena terhadap saudara yang dianggap tak sama. Di sisi lain, dalam aspek pribadi, kita juga sering pincang dalam menyeimbangkan kebutuhan spiritual kebutuhan material. Memang harus diakui sikap adil tidaklah gampang, namun itulah pesan utama demi menjadikan diri maupun masyarakat yang bermartabat.

Ada banyak cara untuk menjadikan Al-Qur’an lebih membumi, di antara  yang paling awal kita harus memperdalam pemahaman kita tentangnya. Membaca Al-Qur’an dengan tafsir dan penjelasan yang lebih mendalam dapat membuka wawasan kita tentang bagaimana Al-Qur’an relevan dengan kehidupan kita saat ini. Bila malas membaca, kita bisa mendengarkan ceramah Kyai maupun Ustadz baik secara langsung maupun melalui platform digital yang saat ini sangat mudah ditemui.

Di sisi lain, memang kita perlu sikap “berani” dalam mengamalkan ajaran-ajaran Al-Qur’an, baik dalam kehidupan pribadi maupun sosial. Sebagai contoh, dalam dunia kerja, kita diajarkan untuk bersikap jujur dan adil (QS. Al-Baqarah: 188), dalam interaksi sosial kita diajarkan untuk saling menghormati (QS. Al-Hujurat: 13), dan dalam masalah ekonomi kita diajarkan untuk menghindari riba dan eksploitasi (QS. Al-Baqarah: 275). 

Itulah ajaran-ajaran al-Qur’an yang rasa-rasanya masih butuh untuk kita perjuangkan. Berat, bukan?

Zaimul Asroor. M.A., Dosen IAI Khozinatul Ulum Blora dan Ustadz di Cariustadz.id

Tertarik mengundang ustadz Zaimul Asroor. M.A.? Silahkan klik disini