Banyak orang pernah, bahkan sering, mengalami situasi di mana apa yang baru saja dipelajari melalui bacaan atau pendengaran tidak bertahan lama dalam ingatan. Sebuah buku yang selesai dibaca sering hanya meninggalkan sedikit kesan, atau pelajaran yang baru beberapa menit lalu didengar segera memudar dari pikiran.
Fenomena ‘mudah lupa’ ini bukanlah hal jarang terjadi. Sebab, otak manusia cenderung melupakan informasi yang tidak diolah atau diaplikasikan secara aktif. Untungnya, sains modern telah mengenal satu konsep yang dapat mengatasi masalah umum ini, yaitu the Protégé Effect.
The Protégé Effect dalam Perspektif Sains
Dalam dunia pendidikan, ada pepatah lama yang mengatakan bahwa ‘ketika satu orang mengajar, dua orang belajar (murid dan guru)’, ‘sambil mengajar, kita belajar’, dan pepatah senada lainnya. Dalam dunia psikologi, ini kemudian dikenal dengan istilah the protégé effect (efek protege).
Istilah protégé berasal dari bahasa Prancis, yang secara sederhana merupakan gagasan di mana seseorang dapat lebih memahami pelajaran lebih baik ketika dia (mencoba) mengajarkannya kepada orang lain. Mengutip dari Growth Engineering, prinsip ini dipelopori oleh Jean-Pol Martin pada tahun 1980-an, seorang guru bahasa Prancis di Eachstätt, Jerman.
Mengapa efek protege menjadi metode yang efektif dapat dipahami secara sederhana. Seseorang yang menyiapkan diri untuk mengajar, otaknya tidak hanya menyerap informasi secara pasif. Selain mencoba memahami, ia terdorong untuk mencari cara menjelaskan secara mudah dan sederhana, mengorganisasi materi, hingga menghubungkan konsep dengan contoh konkret.
Aktivitas-aktivitas tersebut membuat memori bekerja lebih aktif, sehingga informasi yang lebih kuat dapat tersimpan. Ini efektif, bahkan jika orang lain itu tidak benar-benar ada, alias hanya dalam imajinasi (murid imajiner).
Cara ini pernah diterapkan oleh David Robson. Dalam artikelnya di The Guardian, ia menjelaskan bahwa dirinya mengobrol singkat dengan Mia dan menceritakan kembali pelajaran terakhirnya tentang bahasa Spanyol. Menariknya, Mia bukanlah manusia. Mia adalah kecerdasan arifisial (AI).
Lewat obrolan sekitar 10 menit dengan Mia, Robson menyatakan bahwa ia dapat memahami bahasa Spanyol lebih baik daripada sekadar belajar melalui buku atau video. Ia merasa menguasai lebih banyak kosakata hingga ragam frasa bahasa Spayol dengan metode tersebut.
Mengajar: Menambah Pemahaman dan Keberkahan
Sudah sedikit dijelaskan sebelumnya bahwa mengajar membawa nilai positif. Bukan hanya bagi objek yang diajar, mengajar juga memberikan manfaat bagi dirinya sendiri (yang mengajar).
Seorang guru yang mengajar ilmu yang sama sejatinya selalu mendapatkan sesuatu yang baru. Meski terkesan hanya mengulang pelajaran yang lalu, bisa jadi ada tambahan informasi dalam setiap penjelasannya, walau sedikit. Tambahan informasi ini menandakan bahwa seorang guru mendapatkan sesuatu yang baru ketika dia mengajar. Ini juga menegaskan kemampuannya dalam mengaitkan satu informasi ke dalam ilmu yang telah dikuasainya.
Apa yang disebut dengan istilah The protégé effect, yang baru diuji dengan sains di abad ke-20, sejatinya telah dikenal luas sepanjang sejarah manusia. Dalam pepatah Arab menyatakan al-ilmu idzaa qusima, zaada (ilmu, apabila dibagi ia akan bertambah).
Senada dengan pepatah di atas, Abu al-Hasan al-Tabrizi dalam al-Bayaan wa al-Iidhaah menyebutkan bahwa “Segala sesuatu apabila diinfakkan (dibagikan) akan berkurang, kecuali ilmu. Sesungguhnya, ilmu apabila diinfakkan, ia akan bertambah.”
Imam al-Ghazali dalam Miizaan al-‘Amal menjelaskan bahwa ilmu dan akal merupakan jenis kebaikan dan kebahagiaan. Ilmu, kata beliau, sangat berbeda dengan harta. Ketika manusia memiliki harta, ia akan menjaga. Namun, ketika manusia memiliki ilmu, justru ilmulah yang akan menjaga pemiliknya. Ilmu akan bertambah ketika dibagikan. Sedangkan harta akan berkurang jika dibagi-bagi.
Selain itu, mengajar (membagi-bagikan ilmu) juga memiliki manfaat yang lebih luas bagi pelakunya. Mengajar berarti menjalankan salah satu anjuran penting dari Rasulullah Saw. Dalam salah satu hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, Rasulullah bersabda, “Ballighuu ‘annii walau aayah (sampaikan dariku walau satu ayat)”.
Mengajar berarti menunjukkan suatu hal kepada orang lain. Ketika seseorang menjadi tahu akibat dari pengajaran serta mengamalkannya, ia akan mendapatkan ganjaran yang sesuai, baik mau pun buruk. Inilah yang dikenal dengan amal jariyah, suatu amal yang tidak akan putus selama ada orang yang mengamalkan apa yang telah kita ajarkan. Hal ini dijelaskan dalam sebuah hadis yang artinya:
“Dalam Islam, barang siapa yang mencontohkan suatu amalan yang baik, kemudian diamalkan oleh orang sesudahnya, maka akan dicatat baginya pahala semisal pahala orang yang mengikutinya, dan sedikit pun tidak mengurangi ganjaran yang mereka peroleh. Dan barang siapa yang mencontohkan suatu amalan yang buruk, kemudian diamalkan oleh orang sesudahnya, maka akan dicatat baginya dosa semisal dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosanya sedikit pun.” (HR. Muslim).
Ketidak-putusan ganjaran mengajarkan ilmu sebagai amal jariyah juga dijelaskan dalam hadis yang cukup terkenal. Rasulullah menjelaskan:
“Apabila seorang manusia meninggal dunia, terputus seluruh amalnya. Kecuali tiga hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak salih yang mendoakannya.” (HR. al-Tirmidzi).
Dengan demikian, mengajar adalah perbuatan baik yang tidak hanya berdampak positif bagi yang diajar. Mengajar juga memberikan nilai tambah bagi pengembangan kualitas sang pengajar. Semakin sering ia mengajar, semakin banyak tambahan ilmu yang didapatkannya. Juga, mengajar dapat menambahkan keberkahan diri. Sebab, selain mengamalkan anjuran Nabi, mengajar juga dapat menjadi sarana datangnya pahala yang tiada terputus walau ia telah meninggal dunia.
Taufik Kurahman, S.Ag., M.Ag., Penyuluh Agama Islam Kotabaru dan Ustadz di Cariustadz
Tertarik mengundang Taufik Kurahman, S.Ag., M.Ag.? Silakan Klik disini