Jika kita mengira bahwa fenomena hijrah karena cinta baru muncul setelah era 2000-an misalnya sejak populernya film Ketika Cinta Bertasbih, di mana tokoh Eliana memutuskan berhijab demi bisa diterima Azzam, maka kita keliru.
Jauh sebelum itu, bahkan sejak zaman Nabi, sudah ada peristiwa hijrah yang didasari motif cinta. Kisahnya cukup populer di kalangan ulama hadis: seorang lelaki melakukan hijrah dari Makkah ke Madinah, bukan karena ingin bergabung dalam perjuangan Islam, bukan pula karena wahyu, tapi karena ingin menikahi seorang perempuan bernama Ummu Qais.
Lelaki itu berhijrah demi cinta. Maka sejak itu, ia pun dikenal dalam banyak literatur hadis sebagai muhājir Ummu Qais, orang yang hijrah demi Ummu Qais. (Al-Waafi fi Syarhi Arba’in Nawawi, hal. 13)
Kisah ini bukan gosip apalagi rumor, tapi bagian dari konteks historis di balik hadis masyhur tentang niat:
“Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung niatnya. Dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan. Barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Tapi barang siapa yang hijrahnya karena dunia yang ingin ia raih, atau karena wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya kepada apa yang ia tuju.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini begitu fundamental sampai-sampai dijadikan hadis pembuka dalam kitab Arba’in Nawawi. Namun menariknya, Rasulullah tidak menilai niat si lelaki itu dengan sinis, tidak pula memberi komentar pedas. Beliau hanya menyampaikan pernyataan yang sangat objektif: “Setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan.”
Ini bukan sekadar narasi sejarah, tapi juga pelajaran besar tentang bagaimana kita sebaiknya menyikapi perjalanan hijrah orang lain.
Kita hidup di zaman media sosial, di mana setiap perubahan penampilan atau gaya hidup bisa langsung disorot dan dinilai. Kadang, tanpa sadar kita menjadi polisi moral bagi kehidupan orang lain. Ketika ada yang mulai berubah, kita sibuk menakar: “Hijrahnya sungguh-sungguh nggak, ya?” atau “Jangan-jangan cuma karena endorsement?”
Padahal, tak seorang pun tahu apa yang sesungguhnya tersembunyi dalam niat seseorang.
Bisa jadi, seseorang berhijrah memang awalnya karena cinta manusia. Tapi siapa tahu, dalam perjalanannya, ia benar-benar jatuh cinta kepada Islam dan semua nilai yang dibawanya. Dan bisa jadi pula, seseorang yang sudah ‘berhijrah’ sejak lama justru kehilangan semangat di tengah jalan.
Hijrah bukan perlombaan siapa yang paling cepat sampai. Bukan pula kompetisi siapa yang paling tampak religius. Hijrah adalah perjalanan panjang, dan yang terpenting adalah siapa yang paling lama bertahan.
Orang yang baru mengenal agama kemarin sore belum tentu berada di bawah mereka yang tumbuh dalam lingkungan Islami sejak kecil. Sebab, yang dinilai bukan seberapa lama kita berjalan, melainkan seberapa konsisten kita melangkah.
Maka, mari kita berhenti menakar hijrah orang lain. Setiap orang punya jalan masing-masing, dan Allah-lah yang paling tahu isi hati manusia. Yang bisa kita lakukan adalah mendukung, mendoakan, dan terus memperbaiki niat kita sendiri.
Karena seperti pesan Rasulullah: niat adalah inti dari semua amal. Dan pada akhirnya, kita semua akan menuai sesuai dengan apa yang kita niatkan di awal perjalanan ini.
Dr. Muhammad Asgar Muzakki, M. Ag, Ustadz di Cariustadz.id
Tertarik mengundang Dr. Muhammad Asgar Muzakki, M. Ag? Silakan klik disini