“Dijadikan indah bagi manusia kecintaan pada aneka kesenangan yang berupa perempuan, anak-anak, harta benda yang bertimbun tak terhingga berupa emas, perak, kuda pilihan, binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik.” (Ali ‘Imran[3]: 14)
Cinta dunia (hubbud dunya) merupakan salah satu fitrah manusia. Ia adalah sebuah naluri yang tumbuh secara alami dalam diri setiap insan. Sebab, dunia itu sendiri telah diciptakan dan dihiasi dengan beragam keindahan (lawan jenis, anak-anak, harta benda mewah dan berkilau, dan lainnya).
Dunia dan segala kemegahannya adalah ujian besar bagi setiap manusia. Karena kecintaan terhadap dunia, orang sering mengejarnya dengan sangat ambisius. Kemewahan harta, ketinggian pangkat, dan kebesaran kekuasaan di dunia seringkali membuat manusia lalai akan tujuan hidupnya sebagai seorang hamba, yaitu untuk mengabdi (beribadah) kepada Allah Yang Maha Pencipta (lih: QS. al-Dzariyat[51]: 56).
Waspada Terhadap Dunia
Bahaya terjebak pada kenikmatan dunia dapat dipahami dari bagaimana banyaknya ayat al-Qur’an, hadis Nabi Muhammad Saw, serta ucapan para ulama terkait kehati-hatian pada kehidupan dunia. Salah satu firman Allah berbunyi:
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah harta bendamu dan anak-anakmu membuatmu lalai dari mengingat Allah. Siapa yang berbuat demikian, mereka itulah orang-orang yang merugi.” QS. al-Munafiqun[63]: 9
Ibnu Abi al-Dunya dalam kitab al-Zuhd meriwayatkan sebuah hadis yang menjelaskan bahwa dunia adalah ra’su kulli khathiiah (pangkal segala kesalahan). Cinta dunia dapat menjadikan seseorang lalai akan tugasnya sebagai seorang hamba. Karena sikap yang ambisius terhadap dunia, banyak orang rela bekerja keras demi pencapaian dunia dan melupakan ibadah.
Lebih jauh, cinta dunia dapat menjadikan seseorang bertindak melanggar batas hukum negara serta merugikan orang lain. Para koruptor adalah contoh nyata akibat kecintaan berlebih terhadap dunia. Mereka, yang kebanyakannya telah memiliki banyak harta, rela melakukan tindak kriminal demi menambah kekayaan dan kenikmatan hidup.
Imam al-Ghazali dalam kitab Ihyaa` ‘Uluum al-Diin (hlm. 1101) menyebut bahwa dunia adalah musuh Allah dan aulia-Nya. Sebab, dunia menghalangi jalan para hamba untuk beribadah kepada Allah. Dunia, kata Imam al-Ghazali, menampilkan dan mencitrakan dirinya dengan pakaiannya yang terbaik, seperti seorang buruk rupa yang menipu orang lain dengan pakaian dan perhiasannya.
Salah satu saran Imam al-Ghazali adalah agar setiap manusia mengutamakan kehidupan akhirat yang kekal daripada kehidupan dunia yang fana. Dia menutip sebuah hadis dari Abu Musa al-Asy’ari yang berbunyi:
“Barang siapa yang (terlalu) mencitai dunia, itu akan membawa mudarat bagi akhiratnya. Dan barang siapa yang mencintai akhiratnya, itu akan membawa mudarat bagi kehidupan dunianya. Oleh sebab itu, utamakan yang kekal (akhirat) daripada yang fana (dunia).” HR. Ahmad
Dunia Sebagai Ladang Ibadah
Dalam ajaran agama Islam, kehidupan manusia tidak berakhir dengan kematian. Justru kematian adalah gerbang bagi awal perjalanan baru menuju kehidupan yang lebih hakiki dan kekal. Karenanya, akhirat seharusnya menjadi orientasi hidup manusia selama di dunia.
Kendati banyak tipu daya, dunia dapat dimanfaatkan sebagai ladang ibadah. Setiap perbuatan manusia dapat bernilai pahala yang akan diganjar dengan kebaikan di akhirat kelak.
Bukan hanya perbuatan yang menyangkut rukun Islam (shalat wajib, puasa, zakat, dan haji) atau ibadah yang sejatinya memang bernilai pahala (sedekah, menolong orang lain, dan lainnya) yang dapat bernilai akhirat. Perbuatan duniawi seperti makan, minum, dan bekerja pun dapat bernilai ibadah selama diniatkan karena Allah.
Para ulama mengingatkan betapa dunia harus dimanfaatkan dengan orientasi pada kehidupan di akhirat. Al-Munawi dalam kitab Faidh al-Qadiir mengutip perkatan Imam Ahmad bin Hanbal yang menyatakan bahwa:
“Dunia adalah tempat beramal dan akhirat adalah tempat pembalasan. Maka, siapa saja yang tidak berbuat kebaikan di sini (dunia), ia akan menyesal di sana (akhirat).”
Ungkapan Imam Ahmad di atas mengingatkan bahwa dunia sejatinya adalah ladang ibadah, dan akhirat adalah tempat di mana ladang itu dipanen. Segala amal perbuatan akan menghasilkan buahnya di akhirat kelak. Maka, siapa saja yang tidak menanam kebaikan-kebaikan di dunia, ia akan menyesal di akhirat kelak.
Batasan Hubbud Dunya
Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa segala sesuatu sebelum kematian adalah dunia. Dan sebaliknya, segala sesuatu setelah kematian adalah akhirat. Semua hal yang hanya berhenti pada kepuasan hidup di dunia adalah dunia. Dan semua hal yang dapat membawa kebahagiaan bagi kehidupan di akhirat berarti adalah akhirat.
Agar dapat mencermati mana dunia dan mana akhirat, Imam al-Ghazali menjelaskan tiga hal yang tidak termasuk dunia.
Pertama, sesuatu yang akan dibawa dan dapat menemani manusia setelah kematian. Dalam hal ini adalah ilmu dan amal. Ilmu yang dimaksud adalah ilmu yang bermanfaat, seperti ilmu tentang Allah, tentang ibadah, dan lain sebagainya. Sedangkan amal yang dimaksud adalah perbuatan-perbuatan baik yang dilakukan karena Allah dan untuk mencapai keridaan-Nya.
Kedua, hal-hal mutlak yang dibutuhkan manusia di dunia, seperti makanan, minuman, dan pakaian. Bagi Imam al-Ghazali kepemilikan terhadap suatu benda yang tidak mutlak dibutuhkan oleh seorang manusia termasuk kategori dunia. Misalnya, koleksi mobil mewah yang diperuntukkan hanya sebatas hobi adalah dunia, apalagi jika diniatkan untuk bahan ajang pamer kekayaan.
Ketiga, pekerjaan dan perbuatan yang dimaksudkan untuk menunjang kehidupan ukhrawi. Dalam hal ini, Imam al-Ghazali memberikan contoh makan dan minum hanya sebatas untuk menyambung hidup, mengenakan pakaian kasar untuk sekadar menutupi aurat (bukan bermewah-mewahan), serta pekerjaan yang harus dikerjakan demi kelangsungan hidup.
Batasan dunia atau cinta dunia dapat dilihat pada lima aspek yang disebutkan dalam surah al-Hadid ayat 20, yaitu permainan, sesuatu yang melalaikan, perhiasan, bermegah-megahan, dan berbangga-banggaan. Jika salah satu aspek di atas terdapat dalam kepemilikan harta atau kehidupan seseorang, maka itu juga disebut sebagai cinta dunia.
Dan sebaliknya, jika seseorang memiliki banyak harta, namun diniatkan untuk menunjang kehidupan akhiratnya, maka itu adalah akhirat. Misalnya, seorang hartawan yang rajin berbagi kepada banyak orang, maka kekayaannya adalah akhirat.
Dengan demikian, kendati dunia dipenuhi tipu daya dan ujian yang besar bagi manusia, dunia memiliki peran yang harus dimaksimalkan oleh setiap insan, sehingga tidak terjadi penyesalan ketika hidup di akhirat kelak.
Taufik Kurahman, S.Ag., M.Ag., Penyuluh Agama Islam Kotabaru dan Ustadz di Cariustadz
Tertarik mengundang Taufik Kurahman, S.Ag., M.Ag.? Silakan Klik disini