Ciri Orang Tidak Merugi menurut Surah Al-‘Ashr

Kerugian itu tidak hanya persoalan material, akan tetapi menyangkut waktu. Dua hal yang acapkali kebanyakan manusia lalai, sebagaimana disabdakan Nabi saw, adalah waktu luang dan kesehatan. Jauh-jauh hari Nabi sudah memperingatkan kita akan bahayanya tidak memanfaatkan waktu dengan baik sehingga waktu berlalu begitu saja tanpa membekas kemanfaatan atau produktivitas di dalamnya. Inilah yang menjadi perhatian Nabi kita. Artikel ini akan mengulas bagaimana agar kita tidak menjadi orang yang merugi, dan apa ciri-ciri orang yang tidak merugi dengan bersandar pada firman Allah Surat al-Ashr.

Kata al-‘ashr terambil dari kata ‘ashara artinya menekan sesuatu sehingga apa yang terdapat pada bagian terdalam daripadanya tampak ke permukaan atau keluar (memeras). Penamaan ini agaknya disebabkan karena ketika itu manusia sejak pagi hingga sore hari telah memeras keringat dan tenaganya dengan harapan mendapat hasil yang memuaskan. 

Para ulama, sebagaimana disitir Quraish Shihab, sepakat mengartikan kata ‘ashr pada ayat pertama surat ini bermakna waktu. Waktu yang dimaksud pun beragam, akan tetapi pendapat yang paling tepat, lanjut Shihab, adalah waktu secara umum. Allah bersumpah dengan waktu – menurut Syekh Muhammad Abduh – karena telah menjadi kebiasaan orang-orang Arab pada masa turunnya Alquran untuk berkumpul dan berbincang menyangkut berbagai hal. Bahkan, tidak jarang dalam pembicaraannya tersebut terlontar kata yang mempermasalahkan waktu seperti “waktu sial” jika mendapati kegagalan, atau “waktu baik” jika memperoleh kenikmatan. 

Oleh karenanya, Allah bersumpah melalui surat ini ‘demi waktu’ untuk membantah anggapan mereka. Tidak ada sesuatu yang dinamai waktu sial atau waktu mujur, semua waktu sama. Yang berpengaruh adalah kebaikan dan keburukan usaha seseorang dan inilah yang berperan penting dalam baik buruknya kesudahan satu pekerjaan.

Tiga Ciri

Ada tiga ciri yang menjadikan seseorang tidak merugi sebagaimana ditegaskan Surat Al-Asr, yakni orang-orang yang beriman, orang-orang yang beramal saleh dan saling menasehati dengan kebenaran dan kesabaran.

Pertama, iman. Jika amal perbuatan dilandasi iman, maka ia tergolong manusia yang tidak merugi. Sebab iman adalah pembenaran hati atas apa yang disampaikan oleh Rasulullah Muhammad saw. Iman meliputi rukun enam itu. Quraish Shihab mengatakan iman sangat sulit digambarkan hakikatnya. Ia dirasakan oleh seseorang tetapi sulit baginya – apalagi orang lain melukiskan perasaan itu. Keimanan seseorang hanya dapat dirasakan oleh orang itu sendiri. 

Selain itu, bagi orang-orang yang beriman segala amal perbuatan hakikatnya kembali kepada Allah. Ia sudah mencapai puncak keberagamaan bahwa segala sesuatu pasti kembali kepada-Nya (innalillahi wa inna ilaihi raji’un). Ulama, dalam hal ini, membagi dua sisi ajaran agama, yakni pengetahuan dan pengamalan. Atas dasar ini, para ulama memahami alladzina amanu (orang-orang yang beriman) dalam arti mereka yang sudah memiliki modalitas pengetahuan menyangkut kebenaran. 

Puncak kebenaran itu sendiri bermuara pada kalimat innalillahi wa inna ilaihi raji’un. Kalau dalam penafsiran ayat kedua digambarkan bahwa totalitas manusia berada dalam kerugian, maka jikalau ia telah mempunyai modalitas pengetahuan tentang kebenaran yang dimaksud di atas, maka seperempat dari dirinya telah terbebas dari kerugian (khusr).

Kedua, amal shaleh. Makna sederhana dari amal shaleh adalah amal yang tidak menimbulkan kerusakan (fasad), justru mendatangkan kemanfaatan, keberkahan, ketenangan, dan kemaslahatan bagi dirinya maupun orang lain. Quraish Shihab menjelaskan setiap amal shaleh harus memiliki dua sisi. Sisi pertama adalah wujud amal, yakni yang terlihat dalam dunia nyata. Dalam konteks ini, orang dapat memberikan penilaian sesuai dengan realitas atau fakta yang dilihatnya. 

Sisi kedua adalah motif pekerjaan itu. Terkait sisi ini, hanya Allah yang dapat melihat dan menilainya. Rasul saw bersabda, “Setiap pekerjaan sesuai dengan niatnya” (H.R. Bukhari Muslim) atau masyhur dengan kalimat innamal a’malu bin niyat. Dengan demikian, intisari dari amal perbuatan itu bergantung pada niatnya. Meskipun seolah-olah terlihat buruk, akan tetapi niatnya baik maka jadilah amal saleh. Sebaliknya, walaupun amal perbuatannya baik di mata orang lain, akan tetapi bernilai buruk di sisi Allah karena tercampur niat yang buruk. Karena itu, dapatlah kita pahami mengapa kalimat amal saleh banyak sekali digandengkan dengan iman, karena iman inilah yang menentukan arah dan niat seseorang tatkala melakukan suatu amal.

Ketiga, saling berwasiat atau menasehati dengan kebenaran dan kesabaran. Ada dua frasa yang kentara dalam redaksi surat ini adalah bil haq (kebenaran) dan bis shabr (kesabaran). Artinya, ada dua cara yang dapat dilakukan oleh kita dalam memberikan nasihat kepada orang lain dengan mempertimbangkan dua hal ini, yakni cara kebenaran dan kesabaran. 

Cara pertama mengandaikan bahwa kebenaran tetaplah harus disampaikan sebagai kebenaran dengan cara yang benar. Betapa banyak sekali kebenaran kehilangan intisarinya dikarenakan caranya yang tidak benar. Sementara cara yang kedua mengandaikan bahwa tidak cukup menyampaikan kebenaran dengan cara yang benar, akan tetapi ia harus dibarengi dengan kesabaran. Karena tidak semua orang ujug-ujug menerima kebenaran sekali tempo, bahkan tidak jarang terjadi resistensi yang luar biasa. Maka disinilah letak kesabaran diperlukan. Rasulullah Muhammad saw adalah bukti nyata akan ketekunan dan kesabarannya dalam mensyiarkan Islam ke seluruh penjuru Arab selama 23 tahun.

Dalam konteks pemimpin, dua hal ini harus seiring, seirama, sebangun dan sejalan. Tidak ada garis demarkasi di antara keduanya. Menjadi pemimpin harus siap menyampaikan kebenaran dengan cara yang benar walau resistensi menjadi konsekuensinya, dan harus siap memiliki samudera kesabaran hati yang luas sehingga kebenaran itu akan diterima lambat laun. Ini yang tidak mudah. Karena itu, kedua wasiat di atas mengandung makna bahwa kita dituntut tidak hanya mendidik diri sendiri dengan kebenaran dan mengembangkannya dalam diri kita masing-masing, melainkan kita juga dituntut mengembangkannya pada diri orang lain. Manusia di samping sebagai makhluk individu juga sebagai makhluk sosial.

Surah ini secara keseluruhan berpesan agar seseorang tidak hanya mengandalkan imannya saja, melainkan juga amal salehnya. Bahkan amal saleh pun bersama iman belum cukup. Amal saleh bukan asal beramal. Akan tetapi amal saleh juga harus disempurnakan dengan cara yang benar dan penuh kesabaran. Surat ini mengajarkan kepada kita untuk senantiasa konsisten dan komitmen dalam menjalankan misi kebenaran yang tiada henti. Juga, sebagai umat Islam harus pandai memanage waktu dengan baik agar tidak terbuang sia-sia sehingga tidak tergolong menjadi orang yang merugi sebagaimana disebutkan dalam surat al-Ashr di atas. Wallahu a’lam.

Senata Adi Prasetia, M.Pd, Ustadz di Cariustadz

Tertarik mengundang ustadz Senata Adi Prasetia, M.Pd? Silahkan klik disini