Empat Nilai Ibadah Puasa Menurut Fahruddin Faiz

Puasa di bulan Ramadan merupakan salah satu ibadah yang wajib dilakukan oleh mereka yang telah mukalaf. Puasa (shaum/shiyaam), secara bahasa, berarti menahan atau mengekang diri. Secara istilah syariat, ibadah puasa adalah perbuatan menahan diri dari hal-hal khusus, yaitu menahan diri dari makan, minum, dan berhubungan badan antara suami-istri (jima’), yang dilakukan dari subuh hingga magrib disertai niat (al-Jurjani, al-Ta’riifaat, hal. 116).

Kewajiban puasa didasarkan pada surah al-Baqarah ayat ke-183. Pada ayat tersebut Allah Swt berfirman:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ

“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”

Keistimewaan Puasa

Ibadah memiliki keutamaannya masing-masing. Kelebihan salat, misalnya, diperintahkan secara langsung oleh Allah Swt kepada Nabi Muhammad Saw pada malam Isramikraj, tanpa perantara. Sehingga, salah adalah media komunikasi antara seorang hamba dengan Tuhannya, seakan-akan dia sedang berhadapan dengan Allah. Begitu pula dengan puasa.

Keistimewaan puasa dijelaskan oleh Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihyaa` ‘Uluum al-Diin, bab Asraar al-Shaum. Menurutnya, puasa adalah seperempat iman. Hal ini didasarkan pada sebuah hadis yang berbunyi, “al-shaum nisf al-shabr (puasa itu setengah kesabaran)”, yang mana sabar dijelaskan oleh Nabi Muhammad sebagai, “al-shabr nisf al-Iimaan (sabar itu setengah iman)”.

Keutamaan puasa lainnya dijelaskan dalam sebuah hadis Qudsi yang berbunyi:

كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ، إِلَّا الصِّيَامَ فَإِنَّهُ لِي، وَأَنَا أَجْزِي بِهِ، وَالصِّيَامُ جُنَّةٌ … الحديث

setiap amal keturunan Adam adalah untuk dirinya sendiri, kecuali puasa. Sesungguhnya, puasa itu untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan memberi balasannya. Dan puasa itu adalah perisai … al-hadiits” (HR. al-Bukhari, no. 1904).

Menurut Imam al-Qasthalani, alasan mengapa Allah menyebut ‘puasa untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya’ adalah karena dalam ibadah puasa tidak ada kemungkinan riya. Sebab, puasa hanya diketahui oleh pelakunya dan Allah. Seseorang yang tidak berpuasa bisa saja mengaku bahwa dirinya sedang berpuasa, karena orang lain tidak akan mengetahuinya. Ketika Allah menyebut akan membalasnya secara khusus, menurut al-Qasthalani, menunjukkan bahwa ibadah tersebut sebagai seseuatu yang agung (Irsyaad al-Saarii, jil. 8, hal. 473).

Di akhirat kelak, terdapat sebuah pintu surga yang disediakan khusus bagi mereka yang sering dan senang berpuasa. Imam al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadis dari sahabat Sahal bin Sa’ad yang menjelaskan mengenai pintu khusus ini, yang berbunyi:

إِنَّ فِي الْجَنَّةِ بَابًا، يُقَالُ لَهُ: الرَّيَّانُ، يَدْخُلُ مِنْهُ الصَّائِمُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، لَا يَدْخُلُ مَعَهُمْ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ، يُقَالُ: أَيْنَ الصَّائِمُونَ؟ فَيَدْخُلُونَ مِنْهُ، فَإِذَا دَخَلَ آخِرُهُمْ أُغْلِقَ، فَلَمْ يَدْخُلْ مِنْهُ أَحَدٌ

Sungguh, di surga ada sebuah pintu yang dinamakan al-Rayyan. Pada hari kiamat orang-orang yang berpuasa masuk surga melalui pintu itu. Dan tidak seorang pun akan memasukinya selain mereka. Pada hari itu dikatakan, ‘Manakah orang-orang yang berpuasa?’ Maka, mereka masuk melaluinya. Ketika orang terakhir telah masuk, pintu itu ditutup. Sehingga, tidak seorang pun dapat memasukinya.

Selain yang telah disebutkan di atas, masih ada beberapa keutamaan puasa yang dijelaskan dalam sebuah hadis (sambungan hadis al-Bukhari no. 1904), seperti bau mulut orang yang berpuasa harumnya bagaikan minyak misk dan orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kebahagiaan; kebahagiaan ketika berbuka dan kebahagiaan ketika berjumpa dengan Tuhan.

Empat Level Menunaikan Ibadah Puasa

Fahruddin Faiz, pengampu Ngaji Filsafat di Masjid Jenderal Sudirman (MJS) Yogyakarta, dalam salah satu ngajinya di channel Youtube MJS menjelaskan bahwa orang yang sedang menjalani puasa sejatinya sedang menegakkan empat hal sekaligus (nilai-nilai puasa). Empat nilai tersebut adalah normatif, purifikatif, preventif, dan preservatif.

Pertama, nilai normatif. Secara istilah, normatif berarti yang berkaitan dengan norma, aturan, undang-undang, dan lain sebagainya. Dalam hal puasa, norma yang berlaku adalah kewajiban untuk melaksanakan puasa, sebagaimana firman-Nya “kutiba ‘alaikum al-shiyaam (diwajibkan puasa kepada kalian)”.

Kedua, nilai purifikatif (pembersihan, penyucian). Di akhir ayat perintah berpuasa (al-Baqarah; 183), disebutkan bahwa tujuan orang yang puasa adalah agar bertakwa (la’allakum tattaquun). Ketakwaan berkaitan dengan kesucian dan kebersihatan hati. Hal ini sebagaimana bunyi salah satu hadis bahwa “al-taqwaa haahunaa (ketakwaan itu terletak di sini)”, kata Nabi Muhammad sembari menunjuk dadanya.

Berangkat dari kesucian hati (batin), maka anggota tubuh (lahir) menjadi lebih mudah untuk melaksanakan ketakwaan, yaitu menjalankan segala perintah dan menjauhi hal-hal yang dilarang oleh Allah Swt. Mereka yang sedang menjalankan puasa disuruh untuk menahan dan mengendalikan segala hawa nafsu. Sehingga, batin orang yang berpuasa sedang dipurifikasi (dibersihkan).

Ketiga, nilai preventif (pencegahan). Puasa dapat mencegah seseorang dari berbagai perbuatan tercela, seperti zina mata, telingan, bahkan kelamin. Banyak hadis yang menjelaskan nilai preventif dari puasa. Salah satunya adalah hadis al-Bukhari nomor 1904 di atas, bahwa “al-shaumu junnatun (puasa adalah perisai)”. Berkaitan dengan pernikahan (syahwat kelamin), Nabi menganjurkan orang-orang yang belum mampu menikah untuk berpuasa sebagai tameng, melindungi diri dari kemungkinan berbuat zina. (HR. al-Bukhari, no. 5065).

Keempat, nilai preventif (pemeliharaan, penjagaan). Puasa tidak hanya berdampak positif bagi ruhani, tetapi juga bagi jasmani. Banyak lembaga kesehatan yang menjelaskan berbagai nilai positif puasa bagi tubuh. Website Siloam Hospital, misalnya, menyebutkan sembilan manfaat puasa bagi tubuh; menjaga kesehatan jantung, mengurasi risiko diabetes, meningkatkan fungsi otak, dan lain-lain).

Demikian beberapa nilai yang dapat dihidupkan ketika seseorang mengerjakan puasa. Ia tidak hanya melaksanakan perintah Allah, tetapi juga sedang menjaga dirinya dari berbagai kemungkinan perbuatan tercela serta sedang membangun diri yang sehat.

Taufik Kurahman, S.Ag., M.Ag., Penyuluh Agama Islam Kotabaru dan Ustadz di Cariustadz

Tertarik mengundang Taufik Kurahman, S.Ag., M.Ag.? Silakan Klik disini