Islam, Kerja Keras, dan Kesejahteraan Ekonomi

Islam tidak memisahkan antara ibadah dan kerja. Dalam QS Al-Jumu’ah ayat 10, Allah memerintahkan: “Apabila salat telah ditunaikan, maka bertebaranlah kamu di bumi; carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak agar kamu beruntung.” Ayat ini menjelaskan bahwa bekerja adalah bentuk ibadah, dan mencari nafkah bukan sekadar aktivitas duniawi, melainkan perintah ilahi yang harus dilakukan dengan integritas. Seorang Muslim yang bekerja keras untuk menafkahi diri dan keluarganya tidak sedang sekadar bertahan hidup, tapi sedang menunaikan bagian dari peran kekhalifahan di bumi.

Rasulullah Saw sendiri menegaskan nilai spiritual dari kerja. Beliau bersabda, “Tidak ada yang lebih baik dari makanan yang diperoleh dari hasil kerja tangannya sendiri.” (HR. Bukhari). Bahkan dalam sebuah riwayat, beliau menyatakan: “Sesungguhnya di antara dosa-dosa ada yang tidak bisa dihapus kecuali dengan kepayahan dalam mencari penghidupan.” (HR. Abu Nu‘aim). Hadis ini memperlihatkan bahwa lelahnya bekerja, kerasnya hidup, dan jerih payah mencari nafkah dapat menjadi jalan penghapus dosa—selama dilakukan dengan cara yang halal dan sabar. Maka, dalam Islam, kerja bukan beban, melainkan bagian dari perjalanan spiritual.

Para sahabat memperkuat nilai ini. Abdurrahman bin Auf, yang awalnya tidak punya apa-apa saat hijrah, memilih berdagang daripada menerima sedekah, dan akhirnya menjadi salah satu sahabat paling dermawan. Umar bin Khattab bekerja keras dan tetap hidup sederhana meski menjadi khalifah besar. Ini menunjukkan bahwa Islam tidak mengajarkan umatnya untuk pasrah pada kemiskinan, tapi mendorong kerja keras, kemandirian, dan kontribusi sosial sebagai bentuk ḥayātan ṭayyibah, kehidupan baik yang penuh keberkahan.

Di sisi lain, perkembangan zaman melahirkan fenomena pasif income, penghasilan yang diperoleh tanpa bekerja secara aktif setiap hari, seperti dari investasi, properti, atau bisnis otomatis. Dalam Islam, ini bukan hal yang dilarang, selama sumbernya halal dan tidak mengandung riba, gharar, atau unsur merugikan. Namun jika pasif income membuat seseorang menjadi malas, tidak mau lagi belajar, bekerja, atau berkontribusi untuk orang lain, maka itu bertentangan dengan spirit Islam yang menjunjung tinggi produktivitas. Nabi Saw bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.” (HR. Ahmad). Jadi, meski sudah cukup secara finansial, seorang Muslim tetap dianjurkan untuk aktif berkarya, mengajar, membantu masyarakat, atau bahkan membuka lapangan kerja.

Saat ini, tantangan ekonomi makin nyata. BPS mencatat 7,86 juta pengangguran terbuka per Februari 2024. Banyak generasi muda mengalami tekanan finansial dan kehilangan arah. Di sinilah Islam harus dibumikan: kerja keras dijalani dengan keimanan, kesulitan dihadapi dengan sabar, dan kesejahteraan dikejar bukan hanya demi kenyamanan pribadi, tapi demi manfaat sosial. Islam tidak menjanjikan hidup tanpa beban, tapi menjanjikan makna dan pahala di balik setiap keringat yang halal.

Dr. Mukhrij Sidqy, M.A, Ustadz di Cariustadz.id

Tertarik mengundang ustadz Dr. Mukhrij Sidqy, M.A? Silahkan klik disini