Sering kali kita bertanya dalam hati, apa yang sebenarnya menjadikan manusia mulia di hadapan Allah? Apakah karena wajah yang rupawan, hartanya yang melimpah, atau jabatan yang tinggi? Hal-hal bersifat duniawi itu yang kerap kita pahami, ternyata bukan itu ukurannya. Setidaknya, ada tiga hal utama yang menjadi ukuran kemuliaan.
Pertama, Ketakwaan: Nilai Utama Kemuliaan. Allah berfirman:
“Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.”(QS. Al-Hujurat: 13)
Prinsip takwa adalah al-wiqayah (kehati-hatian atau menjaga), sehingga orang bertakwa adalah mereka yang hatinya takut berbuat dosa, meski tak ada yang melihat. Ia tak ubahnya kompas bagi setiap batin manusia, yang selalu membimbing langkahnya pada kebaikan, bahkan saat dunia ingin menyesatkan jalan hidupnya.
Abd al-Qadir al-Jilani berkata:“Takwa adalah mengenal-Nya dalam keheningan, dan menjauhi yang haram dalam kesendirian.”
Maka, penekanan takwa adalah sikap hati-hati dan kemampuan mengontrol diri untuk tetap komitmen pada kebaikan. Bisa jadi, orang terlihat baik dan mencitrakan diri sebagai orang kalem atau peduli di lingkungan sosialnya. Namun saat sendirian atau di rumah, ia justru kerap terjatuh dalam dosa dan kesalahan. Itu sebabnya, sikap takwa menjadikan hati waspada, lisan terjaga, dan perbuatan penuh makna.
Orang yang bertakwa memiliki dua hal: Pertama, kesadaran akan kehadiran Allah (muraqabah). Ia penuh kehati-hatian dan merasa selalu diawasi. Ia tidak melakukan dosa bukan karena takut ketahuan manusia, tapi karena tidak ingin mengecewakan Allah.
“Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi.” (QS. Al-Fajr: 14)
Kedua, istiqomah pada kebaikan. Orang bertakwa lebih takut kehilangan cinta Tuhannya daripada kehilangan segalanya, maka dirinya selalu didekatkan pada kebaikan. Sebab, tanda seseorang mencintai Tuhannya adalah hati yang rindu pada kebaikan.
Karena itu, sebagai manusia, tugas utamanya adalah berbuat kebaikan—apapun bentuknya dan sekecil apapun. Tetap berbuat baik meski tak dilihat orang lain, tak dianggap, bahkan disalahpahami. Sebab, Allah tidak pernah “buta” terhadap kebaikan hamba-Nya.
Kedua, Ilmu: Lentera Menapaki Hidup. Ilmu membantu kita membedakan mana yang benar dan mana yang hanya terlihat benar. Pada diri sendiri, ilmu membuat kita lebih bijak dalam berpikir, lebih tenang dalam mengambil sikap, tahu diri saat berbicara, dan tahu batas dalam bertindak.
Bahkan dalam urusan ibadah pun, kita wajib memiliki ilmu. Sebab ilmu menjadikan ibadah bukan sekadar gerakan atau aktivitas, tapi kesadaran. Bukan sekadar kewajiban, tapi bentuk keikhlasan.
Mengapa Allah memuliakan orang berilmu yang menggunakan ilmunya untuk kebaikan dan semakin tahu diri? Karena akal dan hati adalah karunia besar dari Allah dalam hidup. Allah berfirman:
“Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah: 11)
Karena itu, Allah meninggikan derajat orang yang beriman dan berilmu—karena mereka tahu arah hidup, dan tahu jalan pulang.
Ketiga, Akhlak: Wajah Sejati Kemuliaan. Nabi dalam sebuah pesannya katakan:
“Sesungguhnya orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya.” (HR. Tirmidzi)
Pesan Nabi tersebut menegaskan bahwa wujud asli iman terlihat dari sikap, cara pandang, dan bagaimana kita menjalani hidup. Mengapa akhlak adalah wujud dari iman? Karena akhlak adalah bahasa universal. Ia bisa mengubah musuh menjadi saudara, dan kebencian menjadi kekaguman.
Dengan akhlak, orang-orang yang awalnya membenci Nabi—bahkan ingin membunuhnya—justru di akhir hidupnya menjadi sahabat perjuangannya.Jalaluddin Rumi berkata: “Jadilah seperti pohon, yaitu diam saat dilempari, tapi tetap memberi buah saat dipanjat.”
Dalam hidup, kita tak akan pernah lepas dari mereka yang mencela, menghina, atau memperlakukan kita dengan tidak adil. Tapi melalui teladan Nabi, kita belajar bahwa kemuliaan bukan tentang membalas, melainkan tentang tetap memberi, meski disakiti. Pohon tetap memberi buah meski dipanjat dan dilukai.
Dalam konteks akhlak Nabi, balaslah keburukan dengan kebaikan.
Islam mengajarkan: wa’fuu ‘amman dzhalamaka – maafkanlah orang yang pernah menzalimimu. Dan dalam Al-Qur’an ditegaskan: wa ‘aafina ‘an an-naas yaitu memaafkan sesama manusia (QS Ali Imran 134)
Menariknya, perintah ini bukan ditujukan kepada yang bersalah, tapi kepada yang disakiti. Itu pertanda bahwa ada kemuliaan yang diletakkan Allah dalam sikap memaafkan. Meskipun Allah melarang keras untuk mendzolimi dan menyakiti.
Alhasil, kemuliaan manusia tidak ditentukan oleh rupa, harta, atau jabatan. Ia ditentukan oleh takwa yang menjaga hati meski dalam sunyi, oleh ilmu yang menerangi langkah dan membuat kita tahu arah, dan oleh akhlak yang menjadi wajah sejati dari iman. Kemuliaan sejati tidak selalu tampak di mata manusia, tapi selalu terlihat jelas di sisi Allah.
Mabrur Inwan, M.Ag, Ustadz di Cariustadz
Tertarik mengundang Mabrur Inwan, M.Ag? Silakan Klik disini.