Kesantunan dan Keindahan Diksi Al-Quran

Hampir tidak ada seseorang di dunia ini yang menyanggah akan kesantunan dan keindahan bahasa Al-Quran. Kesantunan dan keindahan bahasanya, bahkan dijamin oleh Allah swt sendiri, “jikalau engkau meragukan otentisitas Al-Quran, maka buatlah satu surah semisal dengannya, dan ajaklah penolong-penolongmu” (Q.S. al-Baqarah [2]: 23). Tidak cukup di situ, Allah menggaransi otentisitas Al-Quran itu dengan mengatakan, “Percayalah, kalian tidak akan mampu dan pasti tidak mampu menandingi Al-Quran” (Q.S. al-Baqarah [2]: 24).

Jalaluddin Al-Mahalli dan As-Suyuthi dalam Tafsir Jalalain, mengatakan lam taf‘alū pada ayat 24 dari Surat Al-Baqarah, mengisyaratkan ketidakberdayaan mereka pada masa lalu dalam memenuhi tantangan Al-Qur’an. Sedangkan lan taf‘alū menyatakan ketidakberdayaan mereka selamanya. “Takutlah kepada api neraka” dengan tunduk beriman kepada Allah dan menerima bahwa Al-Qur’an bukan kalam manusia.

Dari sini, seakan Allah swt memaklumatkan bahwa pilihan diksi dalam Al-Quran murni atas kehendak-Nya. Jika kita amati secara mendalam, kesantuan dan keindahan diksi Al-Quran memiliki ragam interpretasi yang variatif dan distingtif dengan bahasa Arab yang kita kenal. Menurut KH. Afifuddin Dimyathi, pakar Bahasa Arab dan ulama kenamaan Indonesia, kesantunan berbicara ditentukan dari pemilihan kata yang tepat sesuai dengan konteks situasi pertuturan. Pemilihan ungkapan yang pantas dalam situasi yang tepat erat kaitannya dengan kecerdasan berbahasa seseorang, karena merangkai ungkapan dari berbagai pilihan kata bukanlah hal yang mudah.

Dalam hal ini, Al-Quran melampaui standarisasi kesantunan dan keindahan bahasa itu sendiri. Kiranya, kalimat yang tepat untuk menggambarkan hubungan antara situasi dan ungkapan yang dipilih adalah

لِكلِّ مَقامٍ مَقال، ولكل مقالٍ مقامٌ

“Tiap-tiap tempat ada kata-katanya yang tepat, dan pada setiap kata ada tempatnya yang tepat”.

Kesantunan Diksi Al-Quran

Mengikuti KH. Afifuddin Dimyathi, para penutur bahasa juga mengenal adanya eufimisme yaitu ungkapan halus yang menggantikan ungkapan kasar. Hal ini tidak asing dalam khazanah bahasa Indonesia yang kaya dengan eufimisme. Dalam bahasa Arab pun juga kita temukan beberapa ungkapan penghalus pada kata-kata yang dianggap tabu, misalnya, انتَقَل إلى جِوار ربِّه (mati), بيتُ الأدب (toilet), لا يثمر شجره (pelit) dan sebagainya.

Kita tentu juga sudah mengetahui, lanjut Dimyathi, bahwa dalam beberapa ungkapan bahasa Arab, orang sakit disebut مُعافى (sehat), tuna netra disebut بصير (bermata awas), orang yang juling disebut كريم العين (bermata mulia). Untuk mendalami pola ungkapan dalam Al-Quran, Anda bisa menelaah buku karangan Nasaruddin Idris Jauhar, pakar bahasa Arab, dalam bukunya “Pola Ungkapan dalam Al-Quran”.

Ambil contoh,

فَقُوْلَا لَهٗ قَوْلًا لَّيِّنًا لَّعَلَّهٗ يَتَذَكَّرُ اَوْ يَخْشٰى

Berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir‘aun) dengan perkataan yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut.” (Q.S. Taha [20]: 44)

Quraish Shihab memaknai qaulan layyina, bahwa sekalipun Fir’aun adalah raja yang kejam dan dzalim, Nabi Musa tetap diperintahkan oleh Allah untuk mendakwahinya dengan lemah lembut. Nabi Musa tidak diperkenankan untuk berbicara kasar kepadanya. Begitu indah diksi Al-Quran ketika menggambarkan sesuatu tanpa menyinggung lawan bicaranya sehingga benar adanya Al-Quran itu shalih li kulli zaman wa makan (tetap relevan sepanjang masa).

Tentu, di luar contoh di atas, ada banyak cerita kecerdasan para penutur bahasa Arab dalam mengungkapkan kalimat yang tepat sembari menjaga kesantunan agar tidak menyinggung lawan bicara, demikian kata KH. Afifuddin Dimyathi. Harun Ar-Rasyid, misalnya, sebagaimana dikutip Dimyathi, pernah suatu ketika di rumahnya melihat seikat pohon bambu (dalam bahasa Arab: خيزُران) lalu ia bertanya kepada menterinya Fadhl bin Ar-Rabi’: “Apa ini?” Fadhl dengan kecerdasannya menjawab:

عُروق الرِّماح يا أمير المؤمنين

“Beberapa batang bambu wahai Amirul Mukminin.”

Sang menteri menghindari menyebut kata خيزُران karena ia tahu bahwa nama ibu sang Khalifah adalah khaizuran sehingga ia menghindari ungkapan tersebut demi menjaga kesantunan di hadapan Harun Ar-Rasyid.

Kecerdasan Diksi Al-Quran

Dalam Al-Quran, Allah melarang umat Muslim menggunakan redaksi “ra’ina” dalam Surah Al-Baqarah [2]: 104,

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَقُوْلُوْا رَاعِنَا وَقُوْلُوا انْظُرْنَا وَاسْمَعُوْا وَلِلْكٰفِرِيْنَ عَذَابٌ اَلِيْمٌ

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan, “Rā‘inā.” Akan tetapi, katakanlah, “Unẓurnā” dan dengarkanlah. Orang-orang kafir akan mendapat azab yang pedih. (Q.S. Al-Baqarah [2]: 104)

Rā‘inā berarti ‘perhatikanlah kami’. Akan tetapi, orang Yahudi memelesetkan ucapannya sehingga menjadi ‘ru‘ūnah’ yang berarti ‘bodoh sekali’ sebagai ejekan kepada Rasulullah. Oleh karena itu, Allah Swt. menyuruh para sahabat untuk memakai kata unẓurnā sebagai ganti kata rā‘inā karena keduanya mempunyai makna yang sama.

Andrew Rippin dalam The Quranic Asbab al-Nuzul Material, memaknai kata rā‘inā dengan mengetengahkan unsur asbabun nuzul. Pertama, kata rā‘inā, berasal dari orang-orang Yahudi yang digunakan untuk mengolok-olok dan kaum Muslim salah memahami dan malah menggunakannya dalam percakapan mereka. As-Suyuthi dalam Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul, sebagaimana dikutip Mun’im Sirry, menulis, “Ketika dua orang Yahudi, Malik bin al-Saif dan Rifa’ bin Zaid, menemui dan berbicara dengan Nabi, mereka berkata “ra’ina sam’aka ghair musma” (lihat Q.S. An-Nisa [4]: 46).

Kaum Muslim yang mendengar percakapan tersebut sontak mengira bahwa kata itu merupakan cara orang Yahudi menghormati Nabi-nabi mereka. Maka, mereka juga mengucapkannya kepada Nabi dan turunlah Surat Al-Baqarah ayat 104 ini.

Penafsiran kedua, menurut Rippin yang dikutip Sirry, kata ra’ina dalam bahasa Ibrani berarti laknat, tetapi dalam bahasa Arab bersifat netral, yaitu gembalalah kami. Al-Wahidi dalam Asbabun Nuzul menyebut sejumlah narasi asbab al-nuzul yang memperlihatkan betapa sebagian sahabat Nabi terkesima mendengar orang-orang Yahudi mengatakannya kepada Nabi, padahal kata itu bermakna laknat.

Al-Wahidi menuliskan,

“Mereka [orang-orang Yahudi] acapkali datang menemui Nabi dan berkata “Wahai Muhammad, ra’ina”. Kemudian mereka tertawa terbahak-bahak. Seorang sahabat dari Ansar, Sa’id bin Ubadah, yang mengerti bahasa Yahudi, memperhatikan hal itu dan berkata, “Wahai musuh Allah! Semoga laknat Allah menimpa kalian! Demi Dia yang di tangan-Nya berada jiwa Muhammad, jika saya mendengarnya lagi dari salah satu di antara kalian, aku kan penggal lehernya! Mereka menjawab, “Bukankah kalian sendiri mengatakannya kepada Muhammad? Dan Allah menurunkan ayat 104 Surat Al-Baqarah itu”.

Dari sini, kita bisa memahami bahwa Al-Quran begitu hati-hati dalam mempergunakan diksi agar tidak menyinggung lawan bicaranya. Hal ini juga menandai kesantunan dan kecerdasan Al-Quran dalam berbahasa dan berdialektika kepada suatu kelompok sekalipun kelompok yang tidak beretika sama sekali. Kemampuan bertutur yang santun dan tidak menyinggung orang inilah, kata KH. Afifuddin Dimyathi, yang seringkali diabaikan para pengguna bahasa. Padahal ini adalah seni bertutur yang diwariskan generasi pendahulu kita. Wallahu A’lam.

Senata Adi Prasetia, M.Pd, Ustadz di Cariustadz

Tertarik mengundang ustadz Senata Adi Prasetia, M.Pd? Silahkan klik disini