Long Distance Marriage: Dilema antara Kerja atau Keluarga

Tak jarang sepanjang perjalanan menjadi bagian tim pengasuh TanyaUstadz, Saya mendapatkan pertanyaan tentang hubungan jarak jauh (Long Distance Marriage/LDM). Baik suami yang terpisah jauh dengan istri dan anak, atau bahkan sebaliknya, istri yang justru dihadapkan pada dilema memilih bekerja atau bersama keluarga. Berikut salah satunya:

Pertanyaan:

Assalamu’alaikum.wr.wb. saya ingin bertanya, saya seorang istri yang bekerja, suami dan saya Long Distance Marriage dan kami sudah memiliki 1 anak. Orang tua dari pihak saya ingin saya tetap bekerja di tempat saya saat ini, namun suami sebenarnya ingin saya ikut suami. namun suami sungkan untuk menyampaikan hal tsb ke orang tua saya. Saya bingung harus bagaimana. Mohon saran terkait kondisi saya. Terima kasih.

Jawaban:

Waalaikum Salam Warahmatullah. Pertanyaan yang Anda sampaikan merupakan persoalan yang seringkali dihadapi oleh pasangan yang menjalani hubungan jarak jauh. Anda sebagai istri yang bekerja, dengan suami yang berkeinginan agar Anda ikut bersamanya, namun terkendala dengan keinginan orang tua dari pihak Anda, merupakan situasi yang memerlukan pemikiran matang serta penyelesaian yang bijaksana. Tidak hanya persoalan hukum agama, tetapi juga aspek ekonomi, emosional dan psikologis.

Dalam konteks agama, perjalanan jauh bagi seorang wanita tanpa didampingi mahram adalah masalah yang diperdebatkan di antara ulama. Ada yang menghukumi keras, ada pula yang membolehkan dengan kondisi tertentu.

Salah satu ayat yang dijadikan referensi adalah Firman Allah ta’ala, “Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik” (QS. Al-Ahzab: 32). Imam Al-Qurthubi menyatakan bahwa perintah pada ayat ini berlaku untuk umum. Perempuan muslimah dilarang keluar rumah kecuali dalam keadaan darurat. Demikian pula Ibnu Katsir menegaskan bahwa perempuan dilarang keluar rumah jika tidak ada kebutuhan yang dibenarkan agama.

Sementara Quraish Shihab—dalam Tafsir Al-Mishbah mengutip perkataan Thahir bin Asyur, mengatakan bahwa perintah pada ayat di atas ditujukan kepada istri-istri Nabi sebagai kewajiban. Tapi bagi perempuan-perempuan muslimah selain mereka sifatnya adalah kesempurnaan, tidak wajib, tetapi sangat baik. Islam tidak melarang perempuan mencari nafkah, sebagaimana tercatat dalam Kitab Hadits Riwayat Imam Muslim bahwa ada dua orang bernama Zainab, yaitu Zainab binti Muawiyah (istri Abdullah bin Mas’ud) biasa menafkahi suaminya, dan anak-anak yatim piatu yang diasuhnya; dan Zainab (istri Abu Masoud Uqba bin Amr Al Ansari) yang juga menafkahi suami dan anak-anak yatim piatu yang mereka rawat. Singkatnya Rasulullah mengatakan,

لهما أجْرانِ: أجْرُ القَرابَةِ، وأَجْرُ الصَّدَقَةِ. [وفي رواية]:تَصَدَّقْنَ، ولو مِن حُلِيِّكُنَّ وساقَ الحَدِيثَ.

“Ya, dia mendapatkan dua pahala, pahala nafkah keluarga dan pahala sedekah.”

Merujuk kepada uraian di atas, nampak Islam pada satu sisi memperbolehkan perempuan bekerja, tetapi dengan catatan ia tetap berada bersama keluarga, tidak terpisah jauh atau lama. Izinkan Saya memberikan pertimbangan lebih lanjut. Perlu dipahami juga bahwa dalam pernikahan, kebersamaan dan saling menyayangi adalah pondasi yang sangat penting. Dalam kasus Anda, dengan adanya anak dan orang tua, menjaga hubungan yang erat antara suami, istri, anak dan juga orang tua adalah suatu keharusan.

Mengabaikan kebutuhan emosional dan kebersamaan dalam rumah tangga dapat menimbulkan dampak negatif, termasuk kemungkinan terjadinya perselingkuhan atau perilaku yang melanggar prinsip-prinsip agama. Sependek yang saya amati, pasangan yang tidak melakukan hubungan fisik dalam waktu satu minggu berpotensi melakukan penyelewengan, terlebih pada pasangan muda. Silahkan saudari amati kawan, kerabat atau kenalan yang rumah tangganya hancur atas sebab-sebab tersebut. Uang dan karier bukanlah segalanya, dan kebahagiaan sejati tidak dapat dibeli dengan materi. Sentuhan langsung, senyuman, dan perhatian dari pasangan adalah anugerah yang tak ternilai harganya. Pun restu orang tua adalah doa mujarab.

Tentu, keputusan akhir atas hal ini berada pada keyakinan Saudari dan musyawarah keluarga. Karena itu saran saya bagi Anda adalah untuk kembali berdiskusi dengan suami Anda. Bicarakan secara terbuka mengenai keinginan dan kebutuhan masing-masing serta dampak dari setiap pilihan yang diambil. Jika memang perlu, pertimbangkan untuk pindah dan keluar dari pekerjaan Anda saat ini. Namun, penting juga untuk berkomunikasi dengan baik kepada orang tua Anda, memberikan pengertian bahwa keputusan ini diambil bersama-sama dengan suami, sesuai dengan tujuan untuk menjaga keharmonisan dalam rumah tangga.

Betul bahwa orang tua tidak dapat memaksakan keputusan kepada anak yang telah memasuki ikatan pernikahan. Tapi, hakikat pernikahan adalah himpunan keluarga yang berupaya menciptakan suasana yang penuh kedamaian, cinta, dan rahmat bagi segenap yang ada di dalamnya. Hidup ini singkat, nikmati setiap momen bersama keluarga Anda dengan penuh kebahagiaan dan syukur atas karunia Allah yang telah diberikan. Semoga Allah senantiasa memberikan petunjuk dan keberkahan bagi keluarga Anda.

Wassalam.

Dr. Muhamad bin Abdullah Alhadi, MA, Ustadz di Cariustadz.id

Tertarik mengundang ustad Dr. Muhamad bin Abdullah Alhadi, MA? Silakan klik disini