Manajemen Stress dalam Perspektif Islam dan Psikologi

Dalam sebuah dunia yang penuh dengan tekanan dan tantangan, baik fisik maupun mental, manajemen stress menjadi sebuah keterampilan yang sangat penting untuk dimiliki. Keduanya adalah dua sisi dari koin yang sama, dan dalam mencari keseimbangan, seringkali kita mencari pandangan dari berbagai perspektif. Salah satunya adalah melalui lensa agama dan psikologi. Dalam program Ramadhan yang menarik bernama Ruang Tengah, dua tokoh berbeda, Ustadz Saepuloh dan Psikolog Tara De Thouras, menyuguhkan pandangan mereka mengenai manajemen stress dari perspektif Islam dan psikologi.

Tara De Thouras, seorang psikolog yang berpengalaman, menggambarkan stres sebagai sebuah reaksi kompleks dari tubuh dan pikiran ketika dihadapkan pada situasi yang menekan atau ketidakpastian. Dalam kutipan pernyataannya, ia menjelaskan bahwa stres bukan hanya terjadi secara fisik, tetapi juga bersifat emosional dan psikologis. Situasi yang tidak sesuai dengan harapan atau adanya perubahan yang tidak diinginkan bisa memicu respons stres ini. “Stres itu merupakan sebuah reaksi baik itu fisik, emosional maupun psikologis ketika kita berada dalam sebuah keadaan yang mungkin menekan tidak sesuai ekspektasi atau terjadi perubahan yang kita sendiri pun merasa tidak yakin rasanya kita bisa menghadapi ini atau tidak,” ujarnya.

Dalam pandangan Islam, Ustadz Saepuloh menyoroti konsep perjuangan (jihad) dalam menghadapi kehidupan. Menurutnya, Islam mengajarkan bahwa hidup ini adalah perjuangan yang harus ditempuh dengan kesabaran dan keteguhan. Dalam kutipan pernyataannya, beliau mengatakan, “Islam memandang hidup ini adalah perjuangan hidup ini harus ditempuh dengan susah payah, maka kita harus mempersiapkan diri.” Bagi Ustadz Saepuloh, kesabaran, keteguhan, dan persiapan adalah kunci untuk menghadapi segala bentuk tantangan dalam hidup, termasuk stres.

Meskipun kedua pandangan ini berasal dari latar belakang yang berbeda, namun keduanya memiliki titik temu yang penting dalam manajemen stress. Salah satunya adalah konsep kesabaran dan keteguhan. Dalam Islam, kesabaran (sabr) adalah sebuah konsep penting yang diajarkan untuk menghadapi cobaan dan kesulitan dalam hidup. Sabar bukanlah menyerah secara pasif, tetapi merupakan usaha aktif untuk tetap tenang dan bertahan dalam menghadapi setiap cobaan. Di sisi lain, dalam psikologi, ketahanan mental juga ditekankan sebagai kunci untuk mengatasi stres. Ketahanan mental (resilience) adalah kemampuan untuk pulih dan berkembang setelah mengalami tekanan atau kesulitan.

Selain itu, keduanya juga menyoroti pentingnya persiapan dalam menghadapi stres. Dalam Islam, persiapan berarti melakukan upaya maksimal dan mempercayakan hasilnya kepada Allah SWT. Persiapan tidak hanya dilakukan secara fisik, tetapi juga mental dan spiritual. Begitu juga dalam psikologi, persiapan berarti memiliki strategi dan keterampilan yang dibutuhkan untuk mengelola stres dengan efektif. Ini bisa meliputi teknik relaksasi, manajemen waktu, dan penyelesaian masalah.

Dalam praktiknya, manajemen stress dalam perspektif Islam dan psikologi bisa disatukan untuk menciptakan pendekatan yang holistik dan komprehensif. Dengan memadukan nilai-nilai spiritual dan keterampilan psikologis, seseorang dapat mengatasi stres dengan lebih baik. Sebagai contoh, seseorang dapat menggunakan doa dan dzikir sebagai cara untuk menenangkan pikiran dan hati dalam menghadapi tekanan, sambil tetap melakukan upaya nyata dalam mengelola situasi secara praktis.

Selain itu, dukungan sosial juga menjadi faktor penting dalam kedua perspektif ini. Dalam Islam, saling tolong-menolong dan berbagi beban merupakan nilai-nilai yang sangat dianjurkan. Dalam konteks psikologis, memiliki dukungan dari orang-orang terdekat bisa membantu seseorang untuk merasa didukung dan tidak sendirian dalam menghadapi stres.

Dengan demikian, manajemen stress dalam perspektif Islam dan psikologi bukanlah hal yang bertentangan, tetapi justru saling melengkapi. Kedua perspektif ini menawarkan pandangan dan strategi yang berharga dalam menghadapi tantangan hidup. Dengan memahami dan mengintegrasikan nilai-nilai dari kedua perspektif ini, seseorang dapat mengembangkan kesejahteraan yang holistik, baik secara spiritual maupun psikologis. Hal ini membuktikan bahwa dalam menghadapi stres, terdapat banyak cara yang bisa dipelajari dan diterapkan, sesuai dengan kebutuhan dan keyakinan masing-masing individu.

Artikel ini disadur dari video Ruang Tengah Cariustadz. Untuk menonton videonya silakan Klik disini.