Memahami Ragam Hukum Puasa dalam Islam

Selain puasa wajib, ternyata ada puasa-puasa lain yang memiliki ragam perbedaan hukumnya. Memahami ragam hukum puasa ini dapat menjadi bekal Muslim menjalankan ibadah puasa. Sehingga, seorang Muslim memiliki cara pandang lebih luas terkait ragam hukum puasa yang tidak hanya berkaitan puasa Ramadan saja.

Islam mewajibkan puasa sebagaimana umat terdahulu juga melakukannya (QS. al-Baqarah [2]: 183). Dalil ini menegaskan puasa Ramadan bukan satu-satunya jenis puasa. Umat-umat terdahulu juga menjalankan puasa sesuai perintah syariatnya. Puasa yang pernah dijalankan itu tidak kemudian dihapus begitu saja dalam Islam. Banyak di antaranya kemudian dihukumi sebagai puasa sunnah.

Seperti dijelaskan dalam Fiqh al-Shiyam (1993) bahwa puasa sudah dikenal dulu sebelum Islam. Di zaman jahiliyah, orang Arab berpuasa untuk menghormati hari ‘Asyura’—hari kesepuluh bulan Muharram (Qardhawi, 1993: 11). Dulunya puasa ini wajib bagi orang Arab di masa jahiliyah. Namun, pasca Islam datang berpuasa ‘Asyura’ dihukumi sunnah. Islam tidak lantas menghapusnya, melainkan mengubah hukum agar tetap bisa dilaksanakan.

Empat Hukum Puasa Dalam Islam

Mengenai hukum puasa, waktu pelaksanaan dan adanya pelanggaran sebagai landasan dasar ketetapannya. Ditinjau lebih lanjut puasa dapat dilakukan secara serentak maupun pribadi. Dari sini cukup memberikan gambaran hukum puasa bukan sekadar persoalan wajib dan tidak wajib. Hukum puasa sendiri terbagi menjadi wajib, haram, sunnah, dan makruh. Empat hukum puasa ini harus menjadi pengetahuan dasar bagi setiap muslim.

Pertama, kewajiban puasa adakalanya dilakukan karena datangnya bulan Ramadan. Puasa di bulan ini wajib ‘ain bagi setiap muslim (QS. al-Baqarah [2]: 183). Karena sebab tertentu, puasa juga menjadi wajib. Satu hari puasa Ramadan yang ditinggalkan wajib diganti puasa di hari lain setelah usainya Ramadan. Melanggar ketentuan Allah menyebabkan seseorang terkena denda puasa kaffārat. Istilah lain menyebutnya puasa penebus dosa. Sebagai jalan taubat, puasa ini lebih berat dalam pelaksanaannya. Sengaja bersetubuh di siang hari Ramadan menyebabkan kaffārat puasa dua bulan tanpa terputus.

Masih dalam hukum wajib, puasa sebagai upaya memenuhi janjinya kepada Allah. Ucapan nadzar seseorang menjadikan kewajiban puasa baginya. Walaupun cuma sehari, puasa nadzar tetap harus dipenuhi. Bukan saja karena memenuhi janji kepada diri sendiri, tetapi juga karena upaya mendekatkan diri kepada Allah Swt.

Kedua, puasa sunnah dilakukan pada hari dan bulan tertentu. Berdasarkan hari, puasa pada Senin dan Kamis menjadi satu di antara puasa yang sunnah dikerjakan. Puasa pada hari-hari tertentu menjadi satu alasan mengapa harus melakukannya. Misalnya, puasa pada hari tarwiyah dan ‘Arafah, hari ‘Asyurā’, dan enam hari setelah Idul Fitri. Setiap bulan, dianjurkan pula melakukan puasa sunnah pada ayyām al-bīdh—hari-hari di mana malamnya purnama—sesuai kalender hijriah.

Adapun tentang hukum makruh dan haram sesungguhnya berkenaan dengan puasa yang melanggar ketentuan awal. Puasa menjadi makruh karena pelaksanaannya tidak sesuai aturan umumnya. Puasa wishāl misalnya, menjadi makruh karena diteruskan walau saat magrib sudah tiba. Azan magrib menjadi menjadi alarm waktu berbuka puasa sekaligus meraih pahala sunnahnya. Namun, karena tidak berniat membatalkan dan meneruskannya hingga larut malam menjadikan puasa menjadi makruh.

Ajaran Islam melarang puasa pada hari-hari raya umat muslim. Ini menjadi dasar hukum haram berpuasa. Ada lima hari di mana puasa haram mutlak dilakukan, yakni dua hari raya—Idul Fitri dan Idul Adha—berikut tiga hari tasyrīk yang mengikuti Idul Adha. Lima hari tersebut merupakan hari perayaan umat muslim pasca melaksanakan puasa sebelumnya. 

Pentingnya Ilmu Tentang Hukum Puasa

Setiap muslim dalam ibadah puasa sudah semestinya memiliki pengetahuan dasar hukum-hukum puasa. Tanpa bekal ilmu hukum puasa, dikhawatirkan akan terjadi salah paham atas ibadah puasa yang dilakukan. Kedudukan hukum puasa apakah wajib, sunnah, atau hukum lainnya harus berdasar. Tidak boleh asal mengamalkan tanpa dasar. 

Pada bulan Muharram misalnya, banyak pahala ditawarkan atas kesunnahan puasa di dalamnya. Rasulullah Saw. menganjurkan puasa pada tanggal 10 saja atau pada 10 hari pertama bulan Muharram setiap tahunnya. Namun, keduanya sama-sama mendapatkan pahala menurut kesanggupan pelaksana. Sesuai hadis riwayat Muslim, puasa pada 10 Muharram akan menghapus dosa selama setahun. 

Pada kasus lain, seperti puasa enam hari setelah Idul Fitri perlu dipertegas dengan dalil dan penjelasan ulama. Pertanyaan apakah harus dilakukan pada enam hari awal pasca Idul Fitri, atau enam hari boleh acak dalam keseluruhan bulan Syawal? Ini perlu jawaban dan penjelasan yang didasarkan pada dalil juga pendapat ulama. Sehingga, kesalahan mendasar yang berakibat salah kaprah dapat dicegah.

Dengan demikian, di sinilah letak pentingnya mengetahui hukum-hukum puasa. Hal tersebut dapat menjadi bekal mendasar untuk pelaksanaan ibadah puasa sesuai dengan syari’at yang berlaku. Persoalan mengenai keraguan apakah menggabungkan dua puasa sunnah boleh atau tidak menjadi tidak kabur lagi. Sehingga, ibadah terlaksana sesuai syari’at bukan asal ikut-ikutan dan gengsi semata. Wallahu A’lam

Abdul Fatah, S.Ud., M.Ag., Ustadz di Cari Ustadz

Tertarik mengundang ustadz Abdul Fatah, S.Ud., M.Ag.? Silahkan klik disini