Memaknai An-Nisa Ayat 1: Hawa Bukan dari Tulang Rusuk Adam?

Membaca ulang asal muasal kejadian manusia dalam Al-Qur’an, khususnya terkait makna min nafsin wahidah (dari diri yang satu) dalam Surah An-Nisa ayat 1, membawa kita pada perenungan lebih dalam terkait relasi laki-laki dan perempuan, serta bagaimana narasi tentang penciptaan manusia pertama telah membentuk keyakinan mayoritas umat Islam hingga saat ini. 

Dalam tulisan kali ini, penulis ingin membahasnya dalam bingkai Tafsir Al-Azhar karya Buya Hamka, begitu juga beberapa mufasir lain yang memiliki perspektif lebih luas dan keluar dari jerat pemahaman tekstualis saat memaknai ayat 1 Surah An-Nisa di atas.

Sebagian besar mufasir klasik seperti Ibnu Jarir, Ibn Abi Syaibah, Ibnu Abi Hatim mengartikan kata “nafsin wahidah” sebagai Adam, sedangkan pasangannya (Hawa) diciptakan dari tulang rusukya. Lebih jauh, Ibnu Al-Mundzir memberikan rincian bahwa tulang rusuk kiri Adam paling bawah. Penafsiran ini didukung dengan sebuah hadis yang berbunyi:

 اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا، فَإِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ،

“Berwasiatlah (dalam kebaikan) kepada perempuan, karena perempuan diciptakan dari tulang rusuk,…” (HR. Muslim)

Bila merujuk pada bunyi teks Al-Qur’an, ia sesungguhnya hanya menggunakan frasa min nafsin wahidah tanpa menyebut “tulang rusuk” secara langsung. Ini sebagaimana dikatakan Muhammad Abduh dalam Tafsir Al-Manar, “Al-Qur’an tidak memberikan pernyataan definitif (نص أصولي قاطع) bahwa manusia hanya berasal dari satu nenek moyang (Adam).” Ia menambahkan, beberapa peneliti berpendapat bahwa manusia mungkin berasal dari beberapa populasi awal (bukan satu pasangan), namun Al-Qur’an tidak membantah atau mengonfirmasi hal ini.

Lebih jauh, Buya Hamka menolak pembacaan literal tentang penciptaan Hawa dari tulang rusuk Adam. Ia menuturkan, “Setinggi-tingginya yang dapat diambil dari hadis di atas hanyalah, bahwa tabiat, kelakuan perempuan itu menyerupai tulang rusuk, yang kalau dikerasi akan patah dan kalau dibiarkan saja, tetap bengkok. Jadi bukan dirinya yang dibuat dari tulang rusuk, melainkan perangainya menyerupai tulang rusuk. Dan yang terang sekali ialah, bahwa sekalian perempuan dalam dunia ini tidaklah terjadi dari tulang rusuk. Apatah lagi tulang rusuk suaminya. Yang menjadi pertikaian hanyalah tentang Hawa itu sendiri. Bukan sekalian perempuan” 

Menurut Hamka, narasi Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam sebenarnya berasal dari bangsa Ibrani, khususnya bangsa Yahudi. Hal ini disebutkan dalam Kitab Kejadian 2: 21-22 dalam Perjanjian Lama. Meski demikian, para ilmuwan pun sebenarnya meragukan apakah kitab itu benar dari wahyu yang diterima Musa atau catatan orang-orang setelahnya (Hamka, Tafsir Al-Azhar Juz 4). 

Rasyid Rida menuliskan, “Seandainya tidak tercantum kisah kejadian Adam dan Hawa dalam Perjanjian Lama, seperti redaksi di atas, niscaya pendapat yang menyatakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk Adam, tidak pernah akan terlintas dalam benak seorang muslim.” (Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Jilid 2)

Quraish Shihab, masih dalam tafsirnya, menjelaskan pandangannya terkait posisi perempuan yang sering dianggap lebih rendah dibanding lelaki: 

“Lelaki lahir dari pasangan pria dan wanita, begitu juga wanita. Karena itu tidak ada perbedaan dari segi kemanusiaan antara keduanya. Kekuatan lelaki dibutuhkan oleh wanita dan kelemahlembutan wanita didambakan oleh pria. Jarum harus lebih kuat dari kain, dan kain harus lebih lembut dari jarum. Kalau tidak, jarum tidak akan berfungsi, dan kain pun tidak akan terjahit. Dengan berpasangan, akan tercipta pakaian yang indah, serasi, dan nyaman.”

Tafsir klasik tentang tulang rusuk telah melahirkan konsekuensi sosial yang masif. Stigma seperti “perempuan mudah durhaka karena berasal dari tulang bengkok” atau “laki-laki sebagai pemimpin secara mutlak” seringkali dijustifikasi melalui narasi ini.

Tentu pemahaman seperti ini tidak sesuai dengan pesan QS. Al-Hujurat: 13 “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa.” Bisa dikatakan, Al-Qur’an menolak segala bentuk diskriminasi berbasis gender. 

Membaca ulang QS. An-Nisa’: 1 dalam bingkai Tafsir Al-Azhar mengajak kita keluar dari perdebatan biologis menuju pesan universal. Maksudnya, kita tidak disibukkan dengan kebenaran apakah perempuan diciptakan dari tulang rusuk lelaki. Sebaliknya, kita mampu melihat prinsip universal bahwa semua manusia, lelaki maupun perempuan, berasal dari sumber ilahi yang sama. Keduanya sama-sama mulia, dan keduanya bisa menjadi pelengkap dari kekurangan masing-masing.

Zaimul Asroor. M.A., Dosen IAI Khozinatul Ulum Blora dan Ustadz di Cariustadz.id

Tertarik mengundang ustadz Zaimul Asroor. M.A.? Silahkan klik disini