“Ketika anak itu sampai pada (umur) ia sanggup bekerja bersamanya, ia (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku, sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Pikirkanlah apa pendapatmu?” Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu! Insyaallah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang sabar.” (Qs. Ash-Shaffat/37: 102)
Ayat di atas mengingatkan kita pada peristiwa besar; tentang seorang ayah yang mengajak anaknya berdialog perihal mimpi yang tak biasa. Ya, dialah Nabi Ibrahim as; seorang Nabi, Rasul, kekasih Allah (khalilullah) juga Abul Anbiyaa’ (Bapak Para Nabi). Kisah Nabi Ibrahim as banyak termaktub di dalam Al-Quran, yakni 69 kali penyebutan pada 65 ayat yang berbeda. Dimulai dari kisah dakwah Nabi Ibrahim kepada ayahnya (Azar), ada juga kisah beliau berdakwah pada kaumnya, ada juga tentang Nabi Ibrahim as melayani tamu-tamu (yakni para malaikat) ada juga kisah Nabi Ibrahim yang hendak dibakar oleh kaumnya, berikut kisah Nabi Ibrahim berdebat dengan Raja Namrud.
Di antara banyak kisah tentang Nabi Ibrahim, kisah yang paling menyentuh ialah ayat di atas, dimana Nabi Ibrahim bermimpi menyembelih puteranya, Nabi Isma’il, hingga Al-Quran mengabadikan sepasang ayah-anak ini bekerjasama membangun pondasi Ka’bah. Melalui beragam ayat tentang Nabi Ibrahim as, kita menemukan bahwa beliau bukan saja seorang Nabi yang melahirkan banyak para Nabi, melainkan seorang Ayah yang mampu membangun kelekatan dengan anaknya.
Melalui dialog pada Qs. Ash-Shaffat di atas pula, kita merasakan secara langsung bagaimana ayah ini menenangkan jiwa anaknya perihal mimpi yang cukup mengguncang batinnya. Keteladanan yang dicontohkan Nabi Ibrahim as, bukan sekedar membangun kualitas komunikasi yang sehat, melainkan pula beliau tahu benar bahwa menjadi suami, sekaligus Ayah dan Nabi membutuhkan kesiapan mental baik sebagai imam, juga pelindung dan penyayang bagi isteri dan buah hatinya. Tak heran, jika Al-Quran, menyebut istilah ini dengan qawwam.
Namun, apa makna qawwam sebenarnya?
Dalam kitab Lisan al-Arab, kata qawwam berasal dari kata qama- yaqumu- qauman-wa qiyaman-wa qoumatan-wa qamatan yang berarti lawan dari kata duduk. Kata qawwam juga berarti menjaga dan berbuat kebaikan atau memperlakukan seseorang dengan baik. Sedangkan kata qawam tanpa tasydid pada wawu dan dan huruf alif setelahnya diartikan sebagai keadilan (al-adlu). Kata kunci qawwam merupakan derivasi dari kata qama yang di dalam al-Qur’an hanya disebutkan tiga kali. Semua penyebutan kata qawwam tidak mengarah pada pengertian pemimpin, dua ayat lainnya lebih menekankan pada makna menegakkan keadilan.
Dalam Al-Quran, isyarat qawwam ada dalam Qs. An-Nisa’/4: 34, “Laki-laki (suami) adalah penanggung jawab atas para perempuan (istri) karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari hartanya. Perempuan-perempuan saleh adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada karena Allah telah menjaga (mereka).” (Qs. An-Nisa’/4: 34).
Berdasarkan surah an-Nisa’ ayat 34, para ahli tafsir berbeda pendapat mengenai makna qawwam ini. Diantaranya, Al-Alusi dan Sa’id Hawwa sepakat bahwa qawwam spesifik merujuk pada suami, dimana ia menjadi kepala istri dalam rumah tangga. Adapun Al-Zamakhsyari sangat teguh dengan prinsipnya yang tidak setuju jika perempuan setara dengan laki-laki. Hal ini dapat dilihat melalui penafsirannya yang menyatakan bahwa laki-laki memiliki kelebihan dibandingkan perempuan. Sehingga jabatan seperti kepala negara, hakim, dan lain-lain tidak sesuai jika diduduki oleh perempuan. Sedangkan kebalikan dari pendapat Al-Zamakhsyari, Amina Wadud yang justru menempatkan laki-laki sejajar dengan perempuan. Menurutnya, yang membedakan hanyalah takwa kepada Allah Swt. Ini menunjukkan bahwa baik laki-laki maupun perempuan memiliki kesempatan yang sama dalam kepempinan, baik di ranah politik maupun lainnya.
Sementara itu, Syaikh Mutawalli Asy-Sya’rawi berpendapat bahwa qawwam tidak bermakna tamlik (kepemilikan) dan tafdhil (pengutamaan). Syaikh Rasyid Ridha dalam menjelaskan ayat di atas menyebutkan bahwa sudah merupakan ketentuan bagi kaum pria untuk menjadi pemimpin bagi kaum perempuan, dengan memberi perlindungan dan pemeliharaan terhadap mereka. Lebih lanjut, Syaikh Muhammad Sayyid Thanthawi dalam Tafsir Al-Wajiz menyatakan bahwa makna qawwam adalah yang bertanggung jawab terhadap keseluruhan maslahah perempuan, yaitu menjaga, memelihara, melindungi dan mendidik. Karena Allah telah melebihkan laki-laki atas perempuan dalam dua hal yaitu dari segi kasbiy (memberi mahar dan nafkah) dan wahbiy (kekuatan fisik). Terakhir, menurut Quraish Shihab, makna qawwam tertuju pada laki-laki (suami) yang Allah amanahkan menjadi seorang pelindung, pemelihara isteri termasuk anak-anaknya sebab Allah telah melebihkan fisik & kemampuan nafaqah padanya. Dengan demikian, bukan saja suami menjadi qawwam sebab berperan sebagai pencari nafkah utama melainkan pula harus terlibat dalam tugas domestik bersama isteri serta pengasuhan putera-puterinya.
Keteladanan ini sesungguhnya pula telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw yang berupaya terlibat dalam tugas rumah tangga bersama para isterinya juga menjadi ayah yang menyenangkan bagi anak-anaknya. Riset menyebutkan, keterlibatan ayah dalam pengasuhan sangat memengaruhi perkembangan anak dari segi kognitif, fisik, sosial, emosional, dan akademik anak. Ayah yang baik akan pula memahami bahwa setiap amanah kepemimpinan akan dipertanggungjawabkan, seperti sabda Nabi Saw, “Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari no. 2554 dan Muslim no. 1829). Sejalan dengan hal ini, Al-Quran mencontohkan interaksi positif antara anak dengan ayahnya. Beberapa di antaranya ada di Qs. Luqman ayat 12-19 juga dalam Qs. Ash-Shafat ayat 102 di atas.
Menyadari pentingnya nilai-nilai qawwam yang telah termaktub dalam Al-Quran sesungguhnya seiring dengan tanggung jawab seorang Ayah dalam pengasuhan. Kendati ayah (suami) adalah pemimpin dalam keluarga, ia diperintahkan untuk memimpin dengan bijak dan penuh kasih sayang. Meski tampuk kepemimpinan ada pada pundaknya, ia tidak boleh serta merta membuat keputusan sepihak sehingga melukai isteri dan anak. Kisah Nabi Ibrahim dalam Qs. Ash-Shafat/102 adalah cara terbaik yang bisa kita teladani bersama tentang bagaimana seorang ayah yang berupaya memahami psikis anaknya untuk tetap ‘dimintai’ dan didengar pendapatnya– kendati dalam hal berat sekalipun. Teladan Nabi Ibrahim as pula yang semoga mengantarkan kita para orangtua dan calon orangtua untuk memiliki kesadaran penuh tentang pentingnya membangun interaksi dan komunikasi yang sehat bersama buah hati tercinta. Allahu a’lam.
Dr. Ina Salmah Febriani, M.A., Ustadzah di Cariustadz.id
Tertarik mengundang ustadz Dr. Ina Salmah Febriani, M.A? Silahkan klik disini