“Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (Qs. Lukman [12]: 34)
Selain mengingatkan manusia tentang dunia yang penuh kesementaraan, ayat di atas juga menegaskan keterbatasan pengetahuan manusia tentang kematian. Mendiskusikan kematian, seringkali terkesan menakutkan, padahal sebenarnya, Nabi Saw justru memberi teladan untuk memutus kelezatan yakni dengan memperbanyak mengingat kematian.
Kematian menurut etimologi atau secara bahasa adalah berasal dari bahasa arab maata-yamuutu yang mana mashdarnya mautan yang berarti lawan dari kata hayatun/kehidupan). Azhari dalam Laits mengemukakan makna mautun ini adalah salah satu peristiwa atau ketetapan Allah. Sedangkan dalam kamus Al-Munawwir mengemukakan mautun yang berarti mati.
Sementara itu, Imam Al-Qurthubi mengatakan bahwa kematian bukan ketiadaan sejati, melainkan kematian adalah terputus dan terpisahnya keterkaitan jiwa/roh dengan badan serta terpisahnya kesatuan keduanya, pergantian keadaan, dan perpindahan suatu negeri ke negeri yang lain (dari alam dunia ke alam akhirat).
Senada dengan Imam Al-Qurthubi, Muhammad Quraish Shihab mengatakan bahwa kematian adalah awal dari satu perjalanan panjang dalam evolusi manusia, dimana selanjutnya dia akan memperoleh kehidupan dengan segala macam kenikmatan atau berbagai ragam siksa dan kenistaan. Mengenai kematian, Rasulullah SAW bersabda “Perbanyaklah oleh kalian mengingat sesuatu yang menghancurkan kelezatan (kematian). Jadikanlah ia sebagai bantal apabila kalian tidur! Jadikanlah ia sebagai sesuatu yang ada di hadapan,” atau dalam riwayat lain, “Sering-seringlah mengingat sesuatu yang merusak kelezatan.” (HR. at-Tirmidzi).
Terkait hadits Rasulullah Saw di atas, Imam al-Ghazali, berpendapat salah satu hal yang dapat menghancurkan kelezatan adalah mengingat mati. Mengapa demikian? Al-Ghazali mengumpamakan dengan selalu mengingat mati, otomatis akan menimbulkan rasa kurang suka terhadap dunia yang penuh dengan tipu daya. Mengingat mati dapat melembutkan hati. Tidak terlalu tamak pada dunia yang sangat sementara. Dengan mengingat mati, lanjut Al-Ghazali akan membuat seseorang lebih fokus dalam mempersiapkan diri menuju alam akhirat yang kekal abadi.
Dalam hadits lain yang diriwayatkan Anas ra, ia berkata; Rasulullah SAW bersabda: “Setiap manusia pasti akan menjadi tua. Namun jiwanya tetap muda mengenai dua perkara, yaitu: Tamak akan harta benda dan selalu ingin panjang umur.” (HR. Muslim 1736)
Hadits Rasulullah dan pendapat Al-Ghazali di atas tentu bukan perkara mudah di er perkembangan teknologi gempuran konten media sosial. Intensitas manusia modern dengan gadget memungkinkan hari-hari kita dipenuhi oleh tayangan konten lifestyle, kehidupan public figure/ influencer yang jika kita tak membatasi diri; rasa membandingkan hidup kita dengan hidup orang lain, hingga akhirnya perasaan insecure bisa melunturkan rasa syukur.
Menarik ketika kita mengaitkan istilah ‘memutus kelezatan dunia’ dari perspektif psikologi— dimana sifat serakah/ tamak dan cinta dunia berkaitan erat dengan perasaan selalu kurang, tidak pernah merasa cukup, termasuk sifat takut; takut tidak memenuhi standar sosial, perasaan harus terlihat ‘berpunya’, memaksakan diri, bergaya tidak sesuai dengan kemampuan, hingga lahirlah istilah kekinian fear of missing out (FOMO), takut tertinggal zaman sehingga segalanya harus dipaksakan.
Sifat serakah juga berkaitan dengan apa yang diistilahkan dalam kajian psikologi; Id, ego dan superego. Id ialah bagian dalam kepribadian manusia yang bertanggung jawab atas dorongan-dorongan dasar manusia seperti keinginan untuk mendapatkan apapun yang kita inginkan. Id inilah yang membuat manusia bersifat serakah. Sementara itu, ego, berfungsi untuk mempertimbangkan secara logis sampai dimana keinginan itu terpuaskan. Di tingkat berikutnya, superego, ialah bagian kepribadian yang bertindak sebagai pengatur moral dan nilai-nilai sosial. Jika superego tersebut kuat, maka kita akan mudah mengendalikan perasaan ‘tidak pernah cukup’ itu karena peranan superego sebagai ‘alarm’ yang mengingatkan kita mana hal yang baik dan buruk.
Uraian di atas sejalan dengan apa yang disampaikan Al-Quran salah satunya dalam Qs. At-Takatsur dimana Allah mengawali firman-Nya “Alhakumuttakasur/ Berbangga-bangga dalam memperbanyak harta (dunia) telah melalaikanmu,” beberapa mufassir memaknai ayat tersebut dengan bersaing memperbanyak anak, harta, pengikut, kemuliaan, pangkat, jabatan, popularitas dan sebagainya telah melalaikan manusia dari ketaatan kepada Allah Swt. Padahal, dalam ayat lain, Allah mengingatkan bahwa harta dan anak-anak ialah ujian. “Ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai ujian dan sesungguhnya di sisi Allah ada pahala yang besar.” (Qs. Al-Anfal/28)
Pengingat tentang kematian sesungguhnya bukan sesuatu yang menakutkan. Kematian ialah kenikmatan bagi orang-orang beriman, demikian ungkapan Muhammad Quraish Shihab. Kenikmatan karena telah terputus dari fitnah dunia, kenikmatan karena jiwa yang merindu perjumpaan dengan Tuhan. Mari, kita berbekal sebaik-baiknya, agar selalu siap kapanpun Tuhan menetapkan saat kematian itu tiba. Semoga. Allahu ta’ala a’lam.
Dr. Ina Salmah Febriani, M.A., Ustadzah di Cariustadz.id
Tertarik mengundang ustadz Dr. Ina Salmah Febriani, M.A? Silahkan klik disini