Refleksi Hari Pendidikan: Khasyah dan Pendidikan yang Memanusiakan

Hari Pendidikan Nasional yang selalu dirayakan tepat 2 Mei setiap tahunnya, bukan saja penting karena peristiwa historisnya. Melainkan secara filosofis, manusia, siapapun mereka, membutuhkan pendidikan yang memberdayakan juga mengharapkan perubahan nyata dari pendidikan.

Jika kita kembali pada term pendidikan dalam al-Qur’an, kita temukan sangat banyak dan beragam lafaz yang terkait di antarnya adalah tarbiyah, ta’lim, tadris, ta’lim, ta’dib, tadzkiyah, tahdzib, tadbir, da’wah, irsyad, dan uswah.

Term-term pendidikan dalam Al-Quran di atas meniscayakan bahwa pendidikan adalah proses belajar mencari ilmu (ta’lim), yang didahului oleh tazkiyyah (menyucikan jiwa). Selaras dengan hal tersebut, Allah berfirman dalam Qs. Al Jumuah/2, “Dialah yang mengutus seorang Rasul (Nabi Muhammad) kepada kaum yang buta huruf dari (kalangan) mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayatNya, menyucikan (jiwa) mereka, serta mengajarkan kepada mereka Kitab (AlQur’an) dan Hikmah (Sunah), meskipun sebelumnya mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata.”

Selain surah di atas, ayat yang juga familiar mengenai ilmu ialah Qs. Al Mujadalah/11, “Wahai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu “Berilah kelapangan di dalam majelis-majelis,” lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Apabila dikatakan, “Berdirilah,” (kamu) berdirilah. Allah niscaya akan mengangkat orang-orang yang beriman di antaramu dan orangorang yang diberi ilmu beberapa derajat. Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.”

Ada riwayat yang menyatakan bahwa ayat di atas turun pada hari Jumat. Ketika itu, Rasul saw. berada di satu tempat yang sempit, dan telah menjadi kebiasaan beliau memberi tempat khusus buat para sahabat yang terlibat dalam Perang Badr karena besarnya jasa mereka. Nah, ketika majelis tengah berlangsung, beberapa orang di antara sahabat-sahabat tersebut hadir, lalu mengucapkan salam kepada Nabi saw. Nabi pun menjawab, selanjutnya mengucapkan salam kepada hadirin, yang juga dijawab, namun mereka tidak memberi tempat. Para sahabat itu terus saja berdiri. Maka, Nabi saw. memerintahkan kepada sahabat-sahabatnya yang lain—yang tidak terlibat dalam Perang Badr—untuk mengambil tempat lain agar para sahabat yang berjasa itu duduk di dekat Nabi saw.

Perintah Nabi itu mengecilkan hati mereka yang disuruh berdiri dan ini digunakan oleh kaum munafikin untuk memecah belah dengan berkata: “Katanya Muhammad berlaku adil, tetapi ternyata tidak”. Nabi yang mendengar kritik itu bersabda: “Allah merahmati siapa yang memberi kelapangan bagi saudaranya”. Kaum beriman menyambut tuntunan Nabi dan ayat di atas pun turun mengukuhkan perintah dan sabda Nabi itu.

Kata tafasahu dan ifsahu terambil dari kata fasaha, yakni lapang. Sedang kata unsyuzu terambil dari kata nusyuz yakni tempat yang tinggi. Perintah tersebut pada mulanya berarti beralih ke tempat yang tinggi. Yang dimaksud di sini pindah ke tempat lain untuk memberi kesempatan kepada yang lebih wajar duduk atau berada di tempat yang wajar pindah itu atau bangkit melakukan satu aktivitas positif, demikian Prof. Quraish Shihab menafsirkan ayat ini. Ada juga yang memahaminya berdirilah dari rumah Nabi, jangan berlama-lama di sana, karena boleh jadi ada kepentingan Nabi saw. yang lain dan yang perlu segera

Ayat di atas tidak menyebut secara tegas bahwa Allah akan meninggikan derajat orang berilmu. Tetapi, menegaskan bahwa mereka memiliki derajat- derajat, yakni yang lebih tinggi daripada yang sekadar beriman. Tidak disebutnya kata meninggikan itu sebagai isyarat bahwa sebenarnya ilmu yang dimilikinya itulah yang berperanan besar dalam ketinggian derajat yang diperolehnya, bukan akibat dari faktor di luar ilmu itu.

Lebih lanjut Quraish Shihab menguraikan yang dimaksud dengan alladzîna ûtû al-‘ilm/ yang diberi pengetahuan adalah mereka yang beriman dan menghiasi diri mereka dengan pengetahuan. Ini berarti ayat di atas membagi kaum beriman kepada dua kelompok besar, yang pertama sekadar beriman dan beramal saleh dan yang kedua beriman dan beramal saleh serta memiliki pengetahuan. Derajat kelompok kedua ini menjadi lebih tinggi, bukan saja karena nilai ilmu yang disandangnya, tetapi juga amal dan pengajarannya kepada pihak lain, baik secara lisan, atau tulisan, maupun dengan keteladanan

Lantas, apa yang dimaksud dengan “ilmu” dalam ayat di atas? Apakah sekedar gelar akademik yang dimiliki manusia namun mereka menodai hak sesamanya, ataukah siapa saja (meski tidak memiliki gelar akademik/profesional), namun mereka memuliakan manusia lainnya?

Ilmu yang dimaksud oleh ayat di atas bukan saja ilmu agama, tetapi ilmu apa pun yang bermanfaat. Dalam QS. Fâthir [35]: 27–28, Allah menguraikan sekian banyak makhluk Ilahi dan fenomena alam, lalu ayat tersebut ditutup dengan menyatakan bahwa: Yang takut dan kagum kepada Allah dari hamba-hamba-Nya hanyalah ulama. Ini menunjukkan bahwa ilmu dalam pandangan Al-Quran bukan hanya ilmu agama. Di sisi lain, itu juga menunjukkan bahwa ilmu haruslah menghasilkan khasyyah, yakni rasa takut dan kagum kepada Allah, yang pada gilirannya mendorong yang berilmu untuk mengamalkan ilmunya serta memanfaatkannya untuk kepentingan makhluk.

Dr. Ina Salmah Febriani, M.A., Ustadzah di Cariustadz.id

Tertarik mengundang ustadz Dr. Ina Salmah Febriani, M.A? Silahkan klik disini