Di banyak ruang kehidupan publik, kebohongan sudah begitu sering disuguhkan hingga membuat hati dan akal menjadi kebas. Kita tidak lagi kaget mendengar manipulasi data, rekayasa berita, atau penggelapan fakta. Bahkan saat kebohongan itu jelas terlihat di depan mata, reaksi kita hanya mengangkat bahu, seolah semua itu bagian normal dari hidup bernegara. Inilah titik di mana moral bangsa mulai mati rasa: saat dusta tidak lagi menimbulkan rasa bersalah, dan kebenaran tidak lagi memancing rasa hormat.
Kebohongan, jika diulang-ulang dan dibiarkan, lambat laun berubah menjadi hal yang dianggap wajar. Inilah yang disebut normalisasi kebohongan. Fenomena ini terjadi ketika pelanggaran moral yang awalnya dianggap aib, lama-lama diterima sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari. Contohnya, nilai siswa yang sengaja dinaikkan demi target kelulusan atau citra sekolah, data kemiskinan yang dimanipulasi demi citra politik, proyek pemerintah yang diumumkan selesai padahal masih setengah jalan, atau praktik percaloan di kantor Samsat yang jelas-jelas ada tetapi dibantah secara resmi. Fenomena ini selaras dengan peringatan QS Al-Mutaffifin ayat 1-3, yang mengecam orang-orang yang curang dalam takaran dan timbangan sebuah bentuk manipulasi yang hakikatnya sama: merugikan orang lain demi keuntungan diri.
Kebohongan ini mungkin bisa kita klasifikasikan menjadi dua, antara honest liar dan dishonest liar. Honest liar adalah pembohong yang mengakui kebohongannya. Misalnya seorang pesulap yang mengakui bahwa trik yang ia lakukan hanyalah ilusi, atau seorang guru yang berkata, “Iya, nilai ini kita naikkan supaya semua lulus.” Sebaliknya, dishonest liar adalah pembohong yang keukeuh dengan kebohongannya, seolah-olah yang ia lakukan benar, padahal semua tahu itu bohong. Misalnya menaikkan nilai murid tetapi mengumumkannya seakan-akan hasil asli, mengklaim jalan sudah mulus padahal hanya dilapisi tipis untuk foto peresmian, atau menyebut pungutan liar sebagai “biaya administrasi tak resmi”. Al-Qur’an menyebut perilaku ini sebagai talbis al-haq bil-batil (mencampuradukkan kebenaran dengan kebatilan), yang jelas dilarang dalam QS Al-Baqarah ayat 42.
Contoh dishonest liar yang lebih besar terlihat dalam kebijakan publik. Misalnya, klaim “angka kemiskinan menurun drastis” yang diumumkan secara resmi, tetapi kalau kita turun langsung ke lapangan, realitasnya masih banyak keluarga yang kesulitan makan tiga kali sehari, tinggal di rumah tak layak huni, dan berutang untuk biaya sekolah anak. Perbedaan ini sering muncul karena data yang digunakan mengacu pada batas kemiskinan versi pemerintah yang sangat rendah, sehingga banyak orang miskin secara faktual tidak masuk hitungan statistik. QS An-Nisa ayat 135 menegaskan kewajiban menegakkan keadilan dan berkata benar walaupun berhadapan dengan diri sendiri, orang tua, atau kerabat dekat. Mengutak-atik data demi citra jelas melanggar prinsip ini.
Normalisasi kebohongan bukan sekadar masalah etika, melainkan penyakit sosial. Qur’an menyebutnya maradhun fi qulubihim — penyakit di hati (QS Al-Baqarah:10). Dalam tafsir Ibnu Katsir, penyakit ini bisa berupa keraguan atau kemunafikan yang menggerogoti hati, sehingga kebenaran sulit diterima dan kebatilan terasa nyaman. Penyakit ini membuat pelaku tidak lagi merasa bersalah, bahkan membela kebohongan dengan alasan pragmatis seperti “demi stabilitas” atau “demi nama baik”. Masyarakat pun ikut terbiasa, sehingga yang berusaha mengungkap kebenaran justru dicap sebagai pengacau. Ini persis dengan peringatan QS Al-Isra ayat 81: “Kebenaran telah datang dan kebatilan telah lenyap; sesungguhnya kebatilan itu pasti lenyap.” Masalahnya, ketika kebatilan dibiarkan dan dibungkus rapi, masyarakat kehilangan daya untuk melenyapkannya.
Bahaya terbesar dari normalisasi kebohongan adalah hilangnya kemampuan kolektif untuk membedakan hak dan batil. QS Al-Hujurat ayat 6 mengingatkan agar memverifikasi setiap berita sebelum percaya, agar tidak menyesal karena memutuskan sesuatu berdasarkan informasi palsu. Masyarakat yang terus-menerus terpapar dusta akan menganggapnya sebagai realitas, sementara kebenaran dianggap ancaman. Di titik ini, kerusakan akal dan hati sudah parah. Menghadapi realitas ini, Al-Qur’an menawarkan jalan keluar: mengakui kebenaran meski pahit, menolak berkompromi dengan kebohongan, dan menjaga hati agar tidak kebas. Normalisasi kebohongan adalah tanda awal kehancuran moral bangsa; melawannya adalah kewajiban kolektif demi menjaga cahaya kebenaran tetap menyinari kehidupan.
Dr. Mukhrij Sidqy, M.A, Ustadz di Cariustadz.id
Tertarik mengundang ustadz Dr. Mukhrij Sidqy, M.A? Silahkan klik disini