Panduan Al-Quran dalam Berpolitik Praktis

Sebagai sebuah ideologi politik, Islam telah dan terus memotivasi para pemeluknya, baik sebagai individu maupun komunitas, untuk berusaha menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Saat ini, ideologi Islam memiliki peranan berarti, karena dipandang – secara benar atau keliru – telah menyuguhkan nilai tambah (added value) cum berlawanan terhadap nilai politik Barat. Sayangnya, hingga saat ini, hanya sedikit dari penganut Islam (baca: elit politik) yang mampu menerapkan nilai politik Islam secara established ke dalam kehidupan bernegara dan berbangsa. Hal ini tidak terlepas dari berbagai kepentingan yang melingkupinya, semisal kepentingan sumber daya ekonomi, politik, sosial, budaya, agama dan sebagainya.

Dalam konteks ini, Al-Quran memandu bagaimana seseorang berpolitik praksis dengan tetap mengedepankan nilai-nilai Qurani. Politik dalam hal ini dimaknai sebagai cara atau perantara (wasilah) dalam mendistribusikan kesejahteraan terhadap semua golongan. Atau dalam bahasa Gus Dur, politik untuk kemanusiaan. Untuk itu, setidaknya terdapat dua panduan penting dari Al-Quran dalam berpolitik praktis, yaitu keadilan dan partisipasi publik (musyawarah) dalam merumuskan kebijakan politik (policy).

Keadilan

Sebagai prinsip, keadilan berdiri di atas semua golongan dan kepentingan. Karena hanya dengan keadilan, masyarakat dapat bertumbuh. Prinsip ‘keadilan sebagai kelayakan’ (fairness) sesungguhnya telah termaklumatkan dalam Al-Quran,

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُوْنُوْا قَوَّامِيْنَ لِلّٰهِ شُهَدَاۤءَ بِالْقِسْطِۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَاٰنُ قَوْمٍ عَلٰٓى اَلَّا تَعْدِلُوْا ۗاِعْدِلُوْاۗ هُوَ اَقْرَبُ لِلتَّقْوٰىۖ 

Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak (kebenaran) karena Allah (dan) saksi-saksi (yang bertindak) dengan adil. Janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlakulah adil karena (adil) itu lebih dekat pada takwa. (Q.S. al-Maidah [5]: 8)

Poin utama ayat di atas mengatakan, janganlah kebencianmu atau permusuhan di antara kalian mendorong untuk tidak berlaku adil kepada mereka. Tegakkanlah keadilan karena Allah, bukan karena manusia atau harga diri (baca: pangkat, jabatan, kekuasaan). Inilah pedoman berpolitik dalam Islam yang harus dianut bagi siapa saja yang hendak berpolitik praktis. 

Kaidah yang terkandung dalam ayat tersebut meniscayakan, penegakan hukum janganlah tebang pilih. Jangan kemudian hukum digunakan untuk menekan lawan politik dan memuluskan agenda politik tertentu. Dalam hal ini, keadilan dalam berpolitik adalah harga final yang tak bisa ditawar.

Partisipasi Publik (Musyawarah)

Acapkali sebagian kebijakan politik Indonesia cenderung tidak mengindahkan aspirasi masyarakat. Bahkan terkesan masyarakat diperlakukan sebagai objek, bukan subjek kebijakan. Akibatnya, masyarakat merasa tidak dilibatkan dalam perumusan kebijakan sehingga antara kebijakan pemerintah pusat dan masyarakat akar rumput (grassroot) tidak sinkron. Tentu saja, hal ini menyebabkan keterlambatan dalam distribusi atau pemerataan kesejahteraan.

Prinsip syura (musyawarah) ada baiknya diimplementasi dan diarusutamakan kembali di dalam sistem politik Indonesia. Keikutsertaan masyarakat menjadi penting demi keberlangsungan kehidupan bernegara dan berbangsa. Tidak ada ceritanya keberhasilan, tanpa melibatkan orang lain. Begitu pula, berhasil tidaknya sebuah kebijakan bergantung sejauh mana tingkat partisipasi publik. Prinsip musyawarah ini harus dijadikan paradigma di dalam menyusun sebuah kebijakan. Allah tegaskan sendiri dalam firman-Nya,

وَاَمْرُهُمْ شُوْرٰى بَيْنَهُمْۖ 

Sedangkan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka. (Q.S. Asy-Syura [42]: 38)

Nabi Muhammad saw sendiri sangat menganjurkan, dan bahkan, mengarusutamakan musyawarah di dalam apapun terutama menyangkut kebijakan publik. Piagam Madinah menjadi bukti untuk itu. Piagam Madinah menjadi bukti dokumen politik pertama yang diinisiasi Nabi saw dengan melibatkan partisipasi publik, dalam hal ini, masyarakat Madinah secara keseluruhan. Maka tak heran, kepemimpinan Nabi saw di Madinah relatif diterima secara sepenuh hati tanpa polarisasi konflik berarti.

Sayangnya, demokrasi sebagai sistem kurang memaksimalkan prinsip musyawarah dalam pembuatan kebijakan publik. Meskipun ada sistem perwakilan, sebut saja MPR, DPR yang menduduki kursi parlemen, akan tetapi kehadirannya jauh dari harapan rakyat. Justru, acapkali kehadirannya bertolak belakang terhadap harapan rakyat, yakni kesejahteraan.

Memang tidak mudah menerapkan prinsip musyawarah karena akan bersinggungan terhadap kepentingan sebagian kalangan tertentu dan mengundang perdebatan luas di media sosial, baik pro maupun kontroversi. Akan tetapi, hal itu lebih baik jika dibanding harus membungkam perdebatan tersebut, dan dengan begitu masyarakat akan menilai mana yang membela rakyat dan tidak. Karena itu, masyarakat juga dituntut harus mampu menggunakan akal sehatnya untuk mengawal proses perumusan kebijakan politik dalam rangka check and balance agar tidak terjadi penyimpangan yang tidak diinginkan di kemudian hari. 

Oleh karena itu, dua panduan di atas memberikan guidance (panduan) bagi siapapun yang hendak berpolitik praktis guna mencapai tujuan politik itu sendiri (siyasah) atau tetap dalam koridor tujuan syariat (maqasid al-syari’ah), yakni menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan sumber daya.

Senata Adi Prasetia, M.Pd, Ustadz di Cariustadz

Tertarik mengundang ustadz Senata Adi Prasetia, M.Pd? Silahkan klik disini