Salah satu amanah terbesar yang dianugerahkan oleh Allah kepada manusia adalah keluarga. Melalui keluargalah, nilai-nilai agama ditanamkan, karakter dibentuk, dan etika sosial diajarkan sejak dini. Karena itu, tidak mengherankan jika membina rumah tangga menjadi bagian dari sunnah Nabi Muhammad saw.
Sebab menjaga keluarga bukan hanya perintah agama, melainkan jalan menuju ketenteraman hidup dan keselamatan akhirat. Allah SWT secara tegas mengingatkan pentingnya amanah ini dalam firman-Nya:
“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang diperintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (Q.S. At-Tahrim [66]: 6)
Ayat ini menjadi dasar penting dalam Islam bahwa tugas menjaga keluarga bukanlah hal yang sepele. Tanggung jawab tersebut meliputi perlindungan dari segala bentuk keburukan yang bisa menjerumuskan ke dalam siksa neraka—tidak hanya secara fisik, tetapi juga spiritual dan moral.
Menurut cendekiawan Muslim Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah, ayat ini menegaskan bahwa pendidikan dan dakwah semestinya bermula dari rumah. Rumah sebagai institusi sosial memiliki peran penting dalam membentuk karakter manusia sejak dini. Meskipun secara redaksional ayat ini ditujukan kepada laki-laki, tidak berarti kemudian perempuan terbebas dari tanggung jawab.
Seperti halnya ayat-ayat lain dalam Al-Qur’an, perintah menjaga keluarga berlaku bagi suami dan istri sebagai mitra yang saling melengkapi dalam mendidik anak dan membina rumah tangga yang islami. Menariknya, Mufasir besar seperti Thabathaba’i memahami kalimat “bahan bakar neraka adalah manusia” sebagai simbol bahwa manusia bisa terbakar oleh kesalahan dan dosanya sendiri—sebuah konsekuensi logis dari kelalaian spiritual. Hal ini senada dengan penjelasan dalam QS. al-Mu’min [40]:72.
Sementara itu, Al-Alusi dalam Ruh al-Ma’ani menafsirkan bahwa menjaga keluarga berarti menjauhi dosa dan mendorong keluarga untuk taat kepada Allah, melalui nasihat yang bijak dan sikap disiplin yang membangun. Dalam kitab tafsir klasik Al-Kasyf wal Bayan karya Tsa’labi diperinci pula,
Bahwa yang dimaksud menjaga diri sendiri dan keluarga yakni memerintahkan mereka pada kebaikan, melarang dari keburukan, mengajarkan ilmu, serta membina hubungan yang hangat dan penuh kasih sayang.
Al-Mawardi dalam Nukat wal ‘Uyun bahkan menyusun tiga pendekatan konkret dalam menjaga keluarga: (1) Mendidik diri dan keluarga agar terhindar dari api neraka (quu anfusakum wa ahlukum fal yaqu anfusahum naran), sebagaimana ditegaskan Al-Dhahhak; (2) Mengiringi pendidikan dengan dzikir dan doa, agar keluarga senantiasa dalam lindungan Allah, (quu anfusakum wa muru ahlikum bid dzikri wad du’a hatta yaqiyakumullah bihim) sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Abbas; (3) Menjaga dengan amal dan nasihat yang berkelanjutan (quu anfusakum bi af’alikum, wa qau ahlikum biwashiyyatikum), sebagaimana dikatakan oleh para sahabat dan tabi’in seperti Ali, Qatadah, dan Mujahid.
Ketiga pendekatan ini pada intinya menekankan pentingnya peran orang tua sebagai pendidik pertama, baik spiritual, sosial maupun moral dalam keluarga. Mulai dari memberi teladan, membiasakan ibadah bersama, mendisiplinkan dengan kasih, hingga menumbuhkan nilai-nilai kebaikan dalam kehidupan sehari-hari.
Masih menurut Al-Mawardi, yang dimaksud dengan melindungi mereka dari api neraka ada tiga hal; pertama, menurut Qatadah, seseorang harus mengajak anggota keluarganya untuk taat kepada Allah dan mencegah mereka dari perbuatan maksiat. Ketaatan ini bukan hanya soal ibadah ritual, melainkan sikap hidup sehari-hari yang senada dengan nilai-nilai Islam.
Kedua, sebagaimana dijelaskan oleh Sayyidina Ali, orang tua juga perlu mengajarkan kewajiban-kewajiban yang harus dijalani oleh anggota keluarganya. Termasuk di dalamnya persoalan skill di antaranya mendisiplinkan mereka dalam urusan duniawi, seperti etika bekerja, tanggung jawab belajar, serta adab dalam kehidupan sosial.
Ketiga, menurut Maqatil, orang tua harus menjadi sumber kebaikan—mengajarkan, memerintahkan mereka dan memberi teladan kepadanya untuk melakukan hal-hal yang baik, sekaligus menjelaskan apa saja keburukan yang harus dihindari. Ini tidak hanya berlaku untuk anak-anak, tetapi juga seluruh anggota keluarga, termasuk pembantu atau orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya.
Penutup dari ayat tersebut juga menyentuh hati: para malaikat penjaga neraka adalah mereka yang tidak mendurhakai Allah dalam perintah-Nya, dan selalu melakukan apa yang diperintahkan-Nya. Ini menjadi pengingat bahwa ketaatan merupakan kunci perlindungan dari azab, baik secara pribadi maupun dalam lingkup keluarga.
Menjaga keluarga dalam Islam tidak hanya sekadar urusan duniawi, melainkan amanah ukhrawi yang harus benar-benar dijaga dengan baik. Maka, membangun rumah tangga bukan semata soal cinta dan kenyamanan, hasrat dan seksual semata, tetapi juga komitmen bersama untuk saling menuntun menuju ridha dan rahmat-Nya.
Senata Adi Prasetia, M.Pd, Ustadz di Cariustadz
Tertarik mengundang ustadz Senata Adi Prasetia, M.Pd? Silahkan klik disini