Pelaksanaan Akad Nikah dan Tradisi Menghindari Waktu Tertentu

Menikah sejatinya adalah hal yang diperbolehkan oleh agama. Dalam agama Islam, menikah dipandang sebagai salah satu sunah yang sangat dianjurkan oleh Nabi Muhammad Saw, sebagaimana salah satu sabdanya, “Nikah itu termasuk (sebagian dari) sunahku.” Namun, tergantung situasi dan kondisi kedua mempelai, hukum menikah bisa menjadi wajib, makruh, bahkan haram.

Di antara persiapan pernikahan yang paling penting adalah menentukan waktu pelaksanaan akad nikah. Orang-orang Jawa, misalnya, sering melakukan perhitungan matang untuk menentukan tanggal pernikahan. Bukan hanya hari, tanggal, bulan, dan tahun, di tempat penulis bekerja pernah mendapati kasus di mana mempelai meminta penghulu agar dapat memulai prosesi akad nikah tepat jam 07.00 setempat, dengan alasan ‘sudah pas perhitungannya’.

Dalam kaitan antara waktu pelaksanaan akad nikah, di berbagai daerah di Indonesia menghindari pernikahan yang terjepit dua khutbah. Dua khutbah yang dimaksud adalah khutbah idulfitri dan khutbah iduladha. Dan secara khusus, bulan yang sering dihindari untuk pernikahan adalah bulan Syawal.

Di tempat penulis bekerja, ada kenaikan jumlah pernikahan menjelang Ramadan. Bahkan, beberapa bahkan memilih untuk menikah di bulan Ramadan itu sendiri. Tentunya fenomena ini bukan hal yang negatif. Namun, perlu diingat bahwa ujian menahan nafsu ketika berpuasa akan menjadi semakin berat. Salah-salah, malah akan bayar kafarat berpuasa dua bulan berturut-turut.

Menurut hemat penulis, adanya kenaikan peristiwa nikah menjelang bulan Ramadan ini berkaitan dengan kebiasaan masyarakat untuk menghindari pernikahan yang terjepit dua khutbah. Daripada menunggu setelah selesai Idul Adha, yang artinya lebih dari tiga bulan lagi, masyarakat lebih memilih segera melaksanakan akad nikah.

Menghindari Terjepit Dua Khutbah

Ada beberapa alasan mengapa pernikahan di yang terjepit dua khutbah, khususnya bulan Syawal, dihindari. Mengutip dari website Kemenag Kalsel, Syamsuri, Penghulu Madya di KUA Banjarmasin Utara, menjelaskan bahwa bulan Syawal dianggap sebagai bulan panas, sehingga orang yang menikah di bulan tersebut akan panas rumah tangganya.

Ia mengutip beberapa kamus bahasa Arab untuk melihat makna Syawal, yang kemudian didapatkan olehnya bahwa, secara Bahasa, Syawal diambil dari kalimat “syaalat al-naaqah bi dzanabihaa (unta betina yang menegakkan ekornya)”. Di era masyarakat Arab jahiliyah, kalimat di atas menunjukkan fenomena di mana unta-unta betina mengibaskan ekornya untuk menolak pejantan yang ingin mengawininya. Fenomena ini kemudian menjadi tabu di masyarakat jahiliyah yang menganggap pernikahan di bulan Syawal sebagai sesuatu yang sebaiknya dihindari.

Di desa Sibiruang Kabupaten Kampar, Riau, sebagaimana dijelaskan oleh Mustafid dalam artikelnya (2016), menjelaskan beberapa alasan mengapa pernikahan yang dilaksanakan di antara dua khutbah dilarang. Pertama, para pemuka adat di sana memandang bahwa pernikahan itu adalah langka kidagh (langkah kiri), sehingga kemaslahatan dan ketentraman tidak akan terwujud.

Kedua, masa antara dua khutbah di desa Sibiruang adalah masa di mana masyarakat menanam padi, sehingga membuat desa menjadi sepi. Karenanya, tidak banyak orang yang akan membantu untuk persiapan pernikahan. Ketiga, khutbah yang sakral (pernikahan) tidak boleh diapit oleh khutbah yang suci (idulfitri dan iduladha). Dan, terakhir, larangan tersebut sebagai peringatan bagi masyarakat agar berhati-hati dalam menentukan tanggal pernikahan.

Nabi Pernah Menikah di Bulan Syawal

Nabi Muhammad, selaku pembawa risalah, mengajarkan bahwa sebenarnya tidak ada larangan untuk menikah di bulan-bulan tertentu. Pada bulan Syawal, yang sering dianggap sebagai bulan yang tidak baik untuk menikah, Nabi Muhammad Saw. menikah Sayidah Aisyah. Hal ini dijelaskan Aisyah dalam sebuah hadis yang berbunyi:

” تَزَوَّجَنِي رَسُولُ اللَّهِ ﷺ فِي شَوَّالٍ، وَبَنَى بِي فِي شَوَّالٍ، فَأَيُّ نِسَاءِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ كَانَ أَحْظَى عَنْدَهُ مِنِّي “

Rasulullah saw menikahiku di bulan Syawal dan tinggal bersamaku di bulan Syawal. Maka, siapakah istri Rasulullah saw yang paling utama di sisinya selain dariku.” (HR. Muslim, no. 1423).

Imam Muslim di akhir hadis tersebut menerangkan bahwa Sayyidah Aisyah senang apabila wanita-wanita lainnya dinikahi (dicampuri) di bulan Syawal. Imam al-Nawawi dalam kitab Syarh al-Nawawi ‘alaa Muslim (jil. 9, hal. 209), menjelaskan bahwa dalam mazhab Syafii, berdasarkan hadis di atas, dianjurkan untuk melaksanakan pernikahan di bulan Syawal. Selain itu, pernyataan Aisyah pada hadis tersebut merupakan jawaban dan bantahan terhadap anggapan bahwa menikah di bulan Syawal merupakan perbuatan yang dilarang.

Selain Aisyah, Nabi juga menikahi Ummu Salamah (Hindun binti Abu Umayyah) di bulan Syawal tahun ke-4 hijriyah. Ummu Salamah dinikahi oleh Nabi sebagai seorang janda yang ditinggal wafat suaminya setelah menderita luka-luka dari Perang Uhud yang akhirnya meninggal (A. Rosmiaty Azis, Leadership Ummahatul Mukminin, hal. 81).

Bantahan Nabi terhadap tradisi pernikahan juga terjadi di bulan Safar. Safar sendiri dianggap sebagai bulan sial. Tradisi jahiliyah sangat berhati-hati dalam berbuat sesuatu di bulan ini, termasuk dalam hal pernikahan. Untuk membantah itu, Nabi Muhammad bersabda,

Tidak ada ‘adwa, thiyarah, hamah, dan (kesialan di bulan) safar.” (HR. al-Bukhari, no. 5757).

Dalam kitab Manzhuumah Syarh al-Atsar fii maa Warada ‘an Syahr Shafar (hal. 9), Habib Abu Bakr al-‘Adni menyebutkan beberapa peristiwa penting dalam sejarah Islam, termasuk di antaranya adalah pernikahan Nabi Muhammad Saw dengan Sayidah Khadijah serta pernikahan Sayidah Fathimah dengan Ali bin Abi Thalib.

Berdasarkan praktik pernikahan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw di atas, mengutip dari Nu.online, para ahli fikih berpendapat bahwa sunah menikah di bulan Syawal dan Safar. Syekh Nawawi al-Bantani menjelaskan:

Dan sunah melaksanakan pernikahan di bulan Syawal dan Safar. Sebab, Rasulullah Saw menikahi Aisyah di bulan Syawal dan menikahkan putrinya, Fathimah, dengan Ali di bulan Safar, dua belas bulan setelah peristiwa hijrah.

Maka, boleh saja melaksanakan pernikahan di bulan apa pun, termasuk di bulan yang menurut masyarakat adalah bulan sial. Yang lebih penting daripada sekadar waktu pelaksanaan pernikahan adalah kemapanan kedua mempelai. Pernikahan yang sakinah dapat lebih mudah dicapai apabila kedua mempelai mapan secara finansial, pengetahuan (agama, kesehatan, ekonomi), fisik, psikis, dan hal lainnya yang berkaitan dengan pernikahan dan kehidupan.

Taufik Kurahman, S.Ag., M.Ag., Penyuluh Agama Islam Kotabaru dan Ustadz di Cariustadz

Tertarik mengundang Taufik Kurahman, S.Ag., M.Ag.? Silakan Klik disini