Pernikahan dan Keturunan dalam Tinjauan Al-Quran

Sebagai kitab yang membawa petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa (hudan li al-muttaqin), al-Quran menempatkan posisi yang begitu penting sebagai rujukan dan pedoman bagi insan yang beriman. Bukan saja mengatur tentang rutinitas ibadah harian, al-Quran juga menyentuh persoalan yang berkaitan dengan hajat kemanusiaan; pernikahan. Meski bukan suatu kewajiban, menikah ialah tuntunan Rasulullah Saw pada umatnya untuk menyempurnakan bagian agamanya. Pernikahan bukan sesuatu yang harus diperdebatkan hukumnya karena tiap-tiap diri manusia telah ditetapkan garis perjalanan hidupnya. Ada yang telah dianugerahi jodoh pada waktu yang ia rencanakan, ada pula yang masih sabar dalam penantian. Ada yang telah diamanahi buah hati pada usia yang diinginkan, ada pula yang Allah uji dengan penantian di penghujung usia pernikahan.

Pernikahan dalam Islam sesungguhnya akan berjalan harmonis jika mengedepankan prinsip tauhid (sebenar-benarnya menuhankan Allah) karena kita sadar bahwa tujuan pernikahan ialah tenang bahagia bersama pasangan (sakinah), penuh cinta (mawaddah) dan kasih sayang (rahmah), sebagaimana disebutkan dalam Qs. Ar-Rum/21

Menyoal tentang menikah dan memiliki keturunan, jagat maya tengah diramaikan oleh salah seorang influencer yang menikah tapi tak berkehendak memiliki anak—childfree istilah zaman now-nya. Salahkah? Tentu tidak, itu adalah pilihan yang ia ambil secara sadar. Karenanya, penting bagi kita untuk mengetahui konsep pernikahan dalam Islam dan bagaimana al-Quran menyoal tentang term anak dan keturunan sebagai salah satu buah pernikahan.

Al-Quran sesungguhnya telah mengurai bahwa anak/keturunan dipandang sebagai satu dari sekian keberkahan yang diharapkan sebagian besar pasangan melalui ikatan pernikahan. Dalam beberapa ayatnya pun, Al-Quran menyebutkan bahwa diharapkan anak mampu menjadi qurrata a’yun (penyejuk hati) kedua orangtua, meski di kali lain, anak juga menjadi fitnah (ujian) bagi kedua orangtuanya. Namun, tidak ada satu ayatpun yang menyebut bahwa memiliki anak ialah pembawa manusia menuju express-aging (cepat tua) seperti yang ramai baru-baru ini. Kondisi fisik tua-muda, sesungguhnya ialah keniscayaan yang telah dilukiskan al-Quran (Qs. Ar-Rum/54).

Sementara itu, term ‘anak dan keturunan’ juga berulang kali disebutkan dalam derivasi yang berbeda, seperti term al-walad (Q.S al-Nisâ’: 11, al-An`âm: 101) dan term al-mawlûd dalam (Q.S al-Baqarah: 233) dan term-term yang lain, seperti al-thifl (Q.S. al-Nûr 31) dan dzurriyyah (Ali Imran: 38, an-Nisa: 9).

Pertama, al-Qur’an menggunakan term walad untuk menyebut anak, hal itu mengandung aksentuasi makna bahwa anak tersebut dilahirkan oleh ibunya, sebab kata walad terambil dari kata walada-yalidu-wilâdah yang berarti melahirkan. Oleh sebab itu, disimpulkan bahwa penyebutan anak dengan menggunakan term walad menunjukkan adanya hubungan nasab antara anak dengan orangtuanya. Dalam al-Qur’an, tulis Quraish Shihab kata walad dipakai untuk menggambarkan adanya hubungan keturunan atau nasab antara anak dan orang tuanya. Misalnya, Q.S Ali Imran: 47, al-Nisa’:11, al-Baqarah: 233, Luqman: 33, al-Balad: 3. Itu sebabnya, kata wâlid dalam bahasa Arab berarti ayah yang memiliki hubungan nasab dengan anaknya (baca: ayah kandung). Demikian pula, kata wâlidah yang berarti perempuan yang melahirkan, yakni ibu kandung. Hal ini berbeda dengan kata ibn, yang tidak selalu menunjuk pada pengertian anak kandung, melainkan juga bisa berarti anak angkat. Demikian pula kata abb (ayah) yang tidak selalu berarti ayah kandung, melainkan juga bisa berarti ayah angkat.

Kedua, Ibn. Berbeda ketika al-Qur’an menyebut anak dengan menggunakan term ibn yang berarti belum tentu merujuk kepada anak yang secara biologis memiliki hubungan nasab dengan ayahnya. Demikian tulis Muhammad Syahrûr dalam al-Kitâb wal Qur’ân bahwa dalam al-Qur’an sebenarnya tidak ada kata yang maknannya sama persis (lâ tarâdufa fil kalimah fil Qur’an). Al-Râghib al-Ashfihani dalam Mu’jam Mufradât Alfâdz al-Qur’ân menuliskan bahwa anak adalah manusia yang dilahirkan oleh sang ibu yang merupakan hasil reproduksi orangtuanya, baik laki-laki maupun perempuan, sebelum ia dewasa.

Kata ibn dalam al-Qur’an dapat merujuk kepada pengertian anak kandung misalnya, ketika al-Qur’an menyebut Nabi Isa sebagai anak laki-laki Maryam (Q.S. al-Maidah: 78), ketika Nabi Nuh memanggil anaknya agar ikut naik perahunya (Qs. Hûd: 42) dan ketika Luqman al-Hakim menasehati anaknya, agar tidak berbuat syirk kepada Allah (Qs. Luqmân: 13). Namun demikian, kata ibn, juga dapat menunjuk pada pengertian anak laki-laki yang tidak ada hubungan nasab, yakni anak angkat, dalam Qs. Al-Ahzab/ 4. Sehubungan dengan kata dengan ibn, al-Qur’an kadang juga menggunakan bentuk isim tashghir, sehingga kata ibn akan berubah menjadi bunayy, yang menunjukkan bahwa anak itu secara fisik memang masih kecil, dan dapat pula menunjukkan adanya hubungan kedekatan (al-iqtirâb), demikian menurut Hadlarât Hifni Bik Nasif dkk, dalam Qawâ’idu al-Lughah al-`Arabiyyah.

Ketiga, thifl yang bentuk jamaknya athfâl dalam al-Qur’an terulang sebanyak empat kali, yaitu pada Q.S al-Nur: 31 dan 59, al-Hajj: 5, al-Mukmin: 67. Secara semantis, kata thifl berarti al-maulûd alshagîr (bayi yang baru dilahirkan yang masih kecil). Demikian kata pakar lingustik Abul Husain Ahmad Ibn Fâris dalam Mu’jam Maqâyîs al-Lughah.

Keempat, hafadah. Dalam al-Qur’an, term hafadah bentuk jamak dari hâfid (dalam Qs. An-Nahl: 72) dipakai untuk menunjukkan pengertian cucu (al-asbâth) baik untuk cucu yang masih hubungan kerabat atau orang lain. Kata tersebut merupakan derivasi dari kata hafada yang berarti berkhidmah (melayani).

Kelima, shabiyy. Shabiyy secara semantis berarti shigar al-sinn (anak yang masih kecil umurnya). Kata tersebut terulang dua kali dalam alQur’an. Pertama, ketika Allah SWT., menyuruh Yahya untuk mempelajari kitab Taurat pada Qs. Maryam: 12.

Keenam, Al-Qur’an juga menggunakan kata al-ghulâm dalam berbagai bentuknya diulang 13 kali dalam al-Qur’an, yaitu Ali Imrân :40, Yusuf: 19, al-Hijr: 53, al Kahfi: 80, Maryam 7, 8 dan 20, al-Shaffât: 101 dan al-Dzariyât: 28. Kata ghulâm dalam al-Qur’an ada yang dipakai setidaknya dalam dua konteks. Pertama, untuk menyebut anak kecil atau bayi misalnya dalam kisah Nabi Zakariyya a.s. ketika beliau merasa tidak akan mungkin punya anak lagi, karena merasa dirinya sudah tua dan istrinya ‘mandul’. Kedua, kata ghulâm juga bisa berarti seorang anak muda, yang diperkirakan umurnya 14-21 tahun. Sebagaimana tersirat dalam Qs. Yusuf/ 19.

Ketujuh, Al-Qur’an juga menggunakan kata dzurriyyah untuk menyebut anak cucu atau keturunan. Kata tersebut terulang dalam al-Qur’an sampai 32 (tiga puluh dua) kali. Kata tersebut masih derivasi dari kata dzarra yang makna asalnya kelembut dan menyebar. Agaknya hal itu memberi isyarat bahwa orangtua harus memiliki sikap kelembutan terhadap anak cucu, dan anak cucu adalah simbol penyebaran keturunan orangtuanya

Penyebutan dzurriyah dalam al-Qur’an sebagian besar ayatnya berkaitan dengan masalah harapan atau doa orangtua untuk memperoleh anak cucu keturunan yang baik yang memiliki anak-anak yang tetap kokoh dalam keimanannya. Sisi lain, penyebutan kata dzurriyyah dalam bentuk mufrad dapat pula berkonotasi positif, seperti yang dijelaskan dalam al-Qur’an, ketika Nabi Zakariyya berdoa kepada Allah Swt agar diberi keturunan anak yang yang baik (dzurriyyah thayyibah) dalam Qs. Ali Imran ayat 38. Selain itu, dalam Qs. Furqan/ 74 mengenai harapan agar pasangan dan anak-keturunan (dzurriyah) mampu menjadi penyejuk jiwa (qurrata a’yun).

Namun, penyebutan kata dzurriyah dalam bentuk mufrad (tunggal) dalam al-Qur’an, ada yang berkonotasi negatif, seperti dzurriyyatan dhi’afan (anak-anak atau keturunan yang lemah) dalam Qs. an-Nisâ’/4: 9. Pada ayat inilah gambaran anak-keturunan yang tidak dikehendaki al-Quran. Anak keturunan yang lemah iman, lemah fisik, lemah mental, lemah finansial karena berbagai sebab; bisa jadi karena orangtuanya yang belum mampu memberikan pendidikan tauhid dengan benar, menikah pada usia yang masih sangat muda, hamil saat organ reproduksi belum siap, termasuk ketika salah satu pasangan dan atau keduanya memiliki luka batin dari pola pengasuhan orangtuanya yang belum disembuhkan. Terlepas dari apapun faktornya, memiliki anak ialah berkah sekaligus amanah dari Tuhan. Seyogyanya kita terus belajar untuk menjadi orangtua yang baik demi generasi yang lebih baik. Aamiin.

Allahu a’lam.

Dr. Ina Salmah Febriani, M.A., Ustadzah di Cariustadz.id

Tertarik mengundang ustadz Dr. Ina Salmah Febriani, M.A? Silahkan klik disini