Sifat Iri dan Dengki Berbahaya, Tetapi Boleh Pada Dua Kondisi

Iri merupakan salah satu penyakit hati yang berbahaya. Iri adalah suatu kondisi di mana timbulnya perasaan yang kurang senang ketika melihat orang lain memiliki kelebihan, baik dalam hal harta, fisik, kebahagiaan, dan lain sebagainya. Pada tingkatan yang lebih tinggi, iri dapat memunculkan dengki, yaitu perasaan marah atau tidak senang karena iri terhadap orang lain. 

Dalam bahasa agama Islam, dengki disebut dengan istilah hasad. Al-Jurjani mendefinisikan hasad sebagai sebuah keinginan agar nikmat yang ada pada diri orang lain hilang dan menimpa dirinya (al-Ta’riifaat, 77). Dalam surah al-Falaq ayat 5 disebutkan bahwa seorang muslim hendaknya berdoa agar dijauhkan dari kejahatan orang yang dengki apabila ia mulai bertindak. 

Imam al-Ghazali dalam Bidayah al-Hidayah (hal. 59) menjelaskan bahwa hasad bersama dengan sifat riya dan sombong (‘ujub) adalah sifat-sifat yang merusak. Ketiganya dapat membawa pada kebinasaan diri serta menjadi pintu gerbang bagi sifat dan sikap buruk lainnya.

Bahaya Sifat Dengki

Dalam sebuah hadis, Nabi Muhammad Saw. memperingatkan umatnya agar senantiasa menghindari sifat dengki. Hadis tersebut diriwayatkan oleh Abu Daud dalam kitab Sunan-nya, bahwa Nabi bersabda:

إِيَّاكُمْ وَالْحَسَدَ فَإِنَّ الْحَسَدَ يَأْكُلُ الْحَسَنَاتِ كَمَا تَأْكُلُ النَّارُ الْحَطَبَ

Jauhilah oleh kalian sifat dengki. Sebab, dengki memakan (menghanguskan) kebaikan-kebaikan sebagaimana api menghanguskan kayu bakar.” (HR. Abu Daud).

Dalam kitab al-Thariiqah al-Muhammadiyyah wa al-Siirah al-Ahmadiyyah (hal. 244), al-Barkawi menyebutkan delapan kerugian yang dapat muncul dari sifat dengki:

Pertama, ifsaad al-thaa’aat (merusakan ketaatan-ketaatan). Sebagaimana telah disebutkan pada hadis di atas, bahwa sifat dengki dapat mengurangi bahkan menghilangkan kebaikan-kebaikan yang telah dilakukan oleh seseorang. Orang yang hasad akan berusaha menghalang-halangi usaha orang lain, bahkan tidak jarang melakukan segala cara untuk menjatuhkannya. 

Kedua, al-ifdhaa` ilaa al-ma’aashii (membuka pintu menuju kemaksiatan). Sebagaimana disebutkan oleh Imam al-Ghazalai, bahwa dengki dapat membawa pada sikap buruk lainnya. Orang yang dengki, misalnya, akan menyebarkan isu dan berdusta demi menjatuhkan orang lain yang menjadi objek kedengkiannya. 

Ketiga, hirmaan al-syafaa’ah (menghalangi diri dari syafaat). Dalam sebuah hadis riwayat Imam al-Thabrani, Nabi Muhammad saw. bersabda, “Bukan termasuk golonganku orang yang memiliki sifat dengki, pengadu domba, dan kependetaan. Aku pun bukan dari golongan mereka.” 

Keempat, dukhuul al-naar (masuk neraka). Dengki merupakan sifat tercela yang menimbulkan dosa serta menghapus kebaikan-kebaikan yang telah dilakukan. Selain itu, orang yang dengki juga tidak akan mendapatkan syafaat di akhirat kelak. Dalam kondisi ini, dengki akan menuntun seseorang masuk neraka sebagai balasan bagi perilaku buruk. 

Kelima, al-ifdhaa` ilaa idhraar al-ghair (membuka pintu mencelakakan orang lain). Telah disebutkan sebelumnya bahwa orang yang dengki tidak akan segan melakukan menjatuhkan orang lain. Sikap ini bahkan akan membawa keburukan hingga kecelakaan bagi siapa saja yang menjadi sasaran kedengkiannya. 

Keenam, al-ta’ab wa al-hamm min ghair faaidah, bal ma’a wizr wa ma’shiyyah (lelah dan khawatir tanpa memperoleh manfaat, bahkan disertai sakit hati dan maksiat). Dengki tidak hanya merusak jasmani, tetapi juga akan berdampak pada psikologi. Pendengki tidak akan merasa tenang dalam kesehariannya selama ada orang-orang yang memiliki kelebihan dibandingkan dirinya. 

Ketujuh, ‘umyu al-qalb (buta hati). Buta hati adalah penyakit yang sangat menakutkan. Dia yang telah buta hatinya akan dapat berbuat apa saja tanpa mengkhawatirkan dosa dan hukuman yang akan ditanggungnya. Ia tidak merasa takut walau melanggar hukum selama bisa menjatuhkan orang lain. 

Kedelapan, al-hirmaan wa al-khidzlaan (terhalang dan terlantar). Orang yang dengki akan terhalang dari keberhasilan yang sejati, kendati ia sukses menjatuhkan orang lain. Ia akan selalu merasa dengki selama ada orang lain yang lebih berhasil daripada dirinya, walau sekecil apa pun.

Hasad yang Diperbolehkan 

Kendati hasad adalah penyakit hati yang merusak, sehingga dilarang dalam Islam, ada dua kondisi di mana iri hati dibenarkan. Dalam sebuah hadis riwayat Bukhari dan Muslim disebutkan bahwa Nabi Muhammad saw. bersabda, 

لَا حَسَدَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ، رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا فَسُلِّطَ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الْحَقِّ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ الْحِكْمَةَ فَهُوَ يَقْضِي بِهَا وَيُعَلِّمُهَا 

Tidak boleh ada hasad (iri atau dengki) kecuali pada dua golongan: seseorang yang diberikan harta oleh Allah, lalu ia membelanjakannya untuk kebenaran; dan seseorang yang diberikan Allah suatu hikmah, lalu dia mengamalkan dan mengajarkannya.

Beberapa ulama menjelaskan bahwa hasad yang dimaksud pada hadis di atas bukanlah hasad dalam arti sebenarnya, yaitu sifat tercela yang menginginkan kejatuhan orang lain. Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam Fath al-Baarii (jil. 13, hal. 20) mengutip pendapat Ibnu Munir bahwa yang dimaksud dengan hasad dalam kondisi ini adalah ghibthah. Ghibthah sendiri bermakna suatu keinginan mendapatkan nikmat sebagaimana nikmat yang diperoleh orang lain tanpa ada niat menghilangkan nikmat tersebut dari orang lain (al-Ta’riifaat, 135). 

Makna hasad sebagai ghibthah pada hadis di atas juga didukung oleh Imam al-Bukhari yang memberi nama sub-bab hadis tersebut dengan nama Bab al-Ightibath fii al-‘Ilm wa al-Hikmah. Imam al-Nawawi kemudian menjelaskan bahwa ada dua makna hasad, yaitu makna hakiki dan makna majazi (kiasan). Makna kiasan inilah yang disebut dengan ghibthah (al-Minhaaj Syarh Shahiih Muslim, jil. 6, hal. 97). 

Hadis di atas menjadi motivasi bagi seseorang agar dapat berusaha agar dua nikmat, yaitu harta yang dibelanjakan di jalan kebenaran dan hikmah yang diamalkan serta diajarkan, juga menimpa dirinya. 

Ada perbedaan dua hal yang boleh didengki dalam riwayat Imam al-Bukhari lainnya. Dalam sub-bab Ightibath Shaahib al-Qur’an, ia menyebutkan bahwa dua hal yang boleh didengki, selain seseorang yang diberikan harta, adalah seseorang yang diberikan (hafalan) al-Qur’an dan membacanya siang dan malam (HR. al-Bukhari, no. 5025). Ibnu Hajar sendiri mengartikan hikmah pada hadis di atas sebagai (hafalan) al-Qur’an. 

Dengan demikian, hasad (ghibthah) diperbolehkan dalam dua hal, yaitu kepada seseorang yang diberikan kelebihan harta dan dapat membelanjakannya di jalan kebenaran dan kebaikan serta kepada seseorang yang diberikan hafalan al-Qur’an dan dapat membacanya siang-malam. Atau, ghibthah diperbolehkan pada tiga hal, jika hikmah dimaknai sebagai ilmu, bukan al-Qur’an.

Taufik Kurahman, S.Ag., M.Ag., Penyuluh Agama Islam Kotabaru dan Ustadz di Cariustadz

Tertarik mengundang Taufik Kurahman, S.Ag., M.Ag.? Silakan Klik disini