Sifat Rahim dan Apresiasi Al-Qur’an Kepada Ibu

“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: “Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri” (Q.S Al-Ahqaf/ 49: 15)

Hampir tiap tahun di penghujung Desember hari Ibu rutin diperingati. Bukan karena sekedar ikut-ikutan memeriahkan, melainkan secara sadar kita semua terlahir karena perjuangan dan pengorbanan seorang Ibu. Betapapun ada di antara kita yang kehilangan ibunda sejak terlahir ke dunia, atau pun ada yang belum diamanahkan menjadi seorang ibu, al-Qur’an sejatinya memuliakan seluruh perempuan karena amal-amal shalihnya juga karena tanggung jawab (amanah) reproduksi yang melekat dalam dirinya. Ya, dalam tubuh ibu, terdapat organ ciptaan-Nya yang maha dahsyat, tempat janin tumbuh berkembang dari bulan ke bulan; rahim.

Rahim—senada dengan salah satu sifat Allah ‘Asmaul Husna’ yang berjumlah 99, memiliki kata dasar rahmah (kasih sayang). Syaikh Raghib al-Ashfahani dalam karyanya menyebut, kata rahim terdapat tidak kurang dari 100 bentuk dengan beragam derivasi dalam al-Quran.

Sementara itu, Satchiko Murata dalam The Tao of Islam menganalisa, bahwa sifat-sifat Allah yakni Asmaul Husna, dikategorikan menjadi dua yakni sifat Jamaliyyah (sifat feminin) dan Jalaliyyah (sifat maskulin). Sifat Jamaliyyah dan Jalaliyyah dalam Asmaul Husna terhimpun dengan seimbang dan salah satu sifat-Nya yakni ar-Rahim dikategorikan menjadi sifat Jamaliyyah Allah Subhaanahu Wata’ala.

Baca Juga: Islam dan Tuntunan Menjaga Diri (Hifdzu an-Nafs)

Mengapa demikian? Murata menguraikan bahwa Tuhan yang Maha Penyayang pada seluruh manusia, memancarkan rasa kasih dan sayangnya pada diri segenap hamba-Nya, dialah Ibu. Dalam tubuhnya, terdapat organ penting yang disebut rahim. Rahim ialah tempat yang agung, tempat dimana cikal bakal manusia tumbuh dan berkembang.

Jika kita cermati apa yang dikatakan Murata di atas maka kita akan menemukan bahwasannya sebagai refleksi ‘cinta’ dan kasih sayang Allah yang begitu besar kepada seluruh manusia, Allah memberikan tempat terbaik agar manusia dapat tumbuh dan berkembang secara maksimal yakni rahim seorang Ibu. Rahim sendiri merupakan organ elastis yang dapat menampung bobot bayi hingga beberapa kilogram, meski sebetulnya ia adalah organ yang sangat kecil dan tersembunyi. Fatabarakallahu ahsanal Khaliqiin, Maha Suci Allah sebaik-baiknya pencipta.

Buah dari kasih sayang Allah jugalah manusia bisa tumbuh dalam rahim seorang Ibu selama kurang lebih 9 bulan masa kandungan, dimana pemilik rahim, ibu sendiri tidak tahu bagaimana perkembangan detail janin yang dikandungnya. Cukup Allah saja yang Maha Tahu setiap inchi perkembangan janin di dalam rahim, Allah pula yang tak pernah letih menjaga, melindungi janin ketika sang Ibu berjalan, berbaring hingga mungkin terdapat benturan. Selaput yang melapisi rahim juga cairan pelindung (omnion/ ketuban) adalah mahakarya Allah yang sangat luar biasa dahsyat sebagai bentuk ke-rahiman Allah untuk segenap makhluknya.

Fase demi fase yang dilalui seorang ibu dengan sangat tidak mudah disebut dalam lafadz (kurh). Makna kurh, menurut Prof. Quraish Shihab berasal dari kata kaf-ra-ha yang artinya sesuatu yang kurang disukai. Dari situlah lahir pula kata makruh. Artinya, ketika menjalani fase kehamilan seringkali perempuan dilanda rasa sakit secara fisik baik mual, muntah, tidak nafsu makan—juga psikis, sensitive, emosional dan semua itu secara manusiawi kurang disukai olehnya namun tetap harus dijalani.

Karena itu, selama perempuan menanggung amanah reproduksi yaitu menstruasi, mengandung, melahirkan, nifas dan menyusui, tiga tanggung jawab tersebut betul-betul diapresiasi sedemikian tinggi oleh Allah dalam Q.S Al-Ahqaf/ 49: 15 di atas. Secara umum, ayat ini berisi anjuran yang ditujukan pada anak agar memuliakan kedua orangtuanya. Perintah berikutnya yang begitu dalam, Allah menyebut tugas-tugas reproduksi yang diemban seorang ibu. Mengandung dengan keadaan susah payah, melahirkan pun demikian. Demikian, ayat ini begitu mewakili apa yang dialami seorang ibu karena biasanya ketika mengandung, tak sedikit dari perempuan yang mengalami keluhan fisik maupun psikis.

Baca Juga: 4 Tips Fiqh untuk Mencegah Pelecehan Seksual

Penyebutan (sekaligus pengakuan) al-Quran tentang beratnya (kurh) amanah reproduksi ini seyogyanya membuat kita semakin sadar dan memaksimalkan bakti pada kedua orangtua (wabil khusus) ibu yang telah mengandung berbulan-bulan lamanya, hingga menanggung sakitnya melahirkan sampai menyusui dan mengasuh buah hati. Semestinya pula, amanah reproduksi sebagai fitrah kodrati yang dialami perempuan bukan menjadi alasan ketidakadilan bagi perempuan karena sungguh, al-Qur’an memberikan pemuliaan dan penghargaan setinggi-tingginya karena perempuan adalah ‘awal mula’ lahirnya kehidupan. Demikian, Wallahu a’lam.

Dr. Ina Salma Febriany, M.A, Ustadzah di Cariustadz.id