Berbicara tentang dosa, Nabi Muhammad Saw pernah bersabda:
“Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, jika kalian tidak berdosa, sungguh Allah akan melenyapkan kalian dan mendatangkan suatu kaum yang berdosa, lalu mereka memohon ampun kepada Allah, maka Allah akan mengampuni mereka” (HR. Muslim no. 2749).
Hadis ini menjadi penegas betapa luasnya rahmat Allah. Selama manusia hidup, dosa adalah bagian dari fitrahnya. Namun, Allah membuka pintu taubat selebar-lebarnya, seolah mengatakan: jangan takut pada dosa, takutlah bila engkau enggan bertaubat.
Meski begitu, dalam keluasan ampunan itu ada tiga dosa dengan gravitasi kerusakan yang sangat dahsyat, hingga Allah menegaskannya dengan lafaz لَا يَغْفِرُ — tidak diampuni.
Allah berfirman:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa mempersekutukan-Nya, dan Dia mengampuni dosa selain syirik bagi siapa yang Dia kehendaki.” (QS. an-Nisā’ [4]: 48)
Syirik disebut sebagai dosa paling berat karena ia meruntuhkan fondasi iman. Apa artinya menyebut “Lā ilāha illā Allāh” bila hati masih menggantungkan nasib pada selain Allah?
Namun, jalan taubat dari syirik sebenarnya sederhana: kembali ke tauhid sebelum ajal menjemput. Selama ruh belum sampai di tenggorokan, pintu ampunan tetap terbuka.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Seluruh umatku akan diampuni, kecuali orang-orang yang berbuat dosa secara terang-terangan.” (HR. Bukhārī no. 6069)
Dosa ini bukan sekadar kesalahan pribadi, tetapi transformasi keburukan menjadi tontonan. Ia menormalisasi yang salah, memberi pengaruh, dan menular luas. Apalagi di era digital, satu unggahan bisa menjadi dosa jariyah yang tak berhenti meski pelaku sudah tiada.
Tobat dari mujaharah di zaman ini tidak cukup hanya berhenti. Ia harus diikuti dengan take down konten, klarifikasi, dan mengedukasi bahwa apa yang pernah ia viralkan dulu adalah keliru.
Sayangnya, apa yang sudah diunggah di internet bisa bertahan abadi. Potensi dosa itu terus mengalir selama konten diputar ulang, diunggah ulang, atau dipotong menjadi klip-klip baru.
Dalam Syarh atas Shahih Bukhari (no. 2449), Syaikh Ibn ‘Utsaimin menegaskan:
“Dosa yang berkaitan dengan hak sesama manusia, maka Allah tidak akan mengampuninya kecuali setelah mereka merelakan.”
Di sini manusia dituntut menebus di bumi sebelum berharap ampunan dari langit.
Pernah membully? Mintalah maaf.
Pernah menzalimi? Kembalikan haknya.
Pernah korupsi? Rampas kembali asetnya.
Pernah merugikan negara? Maka hukumannya adalah dimiskinkan.
Dosa ini tidak selesai dengan haji tiap tahun atau umroh tiap semester. Allah tidak akan turun tangan sampai korban rela atau haknya dikembalikan.
Dari sini dapat kita simpulkan bahwa Allah memang Maha Pengampun. Namun ketika dosa sudah bersifat catastrophic dan melibatkan hak banyak orang, Allah memberi garis pembatas: ampunan hanya turun setelah keadilan ditegakkan.
Dr. Muhammad Asgar Muzakki, M. Ag, Ustadz di Cariustadz.id
Tertarik mengundang Dr. Muhammad Asgar Muzakki, M. Ag? Silakan klik disini