Agar Perayaan Maulid Nabi Muhammad Tidak Sebatas Formalitas Tahunan

Bulan Rabiulawal selalu disambut dengan penuh suka cita oleh umat muslim di berbagai belahan bumi. Rabiulawal sering disebut dengan bulan maulid (waktu kelahiran). Sebab, bulan ini merupakan bulan kelahiran Nabi Muhammad Saw., manusia agung yang menjadi rahmat bagi seluruh alam (QS. Al-Anbiya: 107). Kehadirannya membawa cahaya di tengah kegelapan, menghadirkan ajaran yang menuntun manusia pada kebenaran, ketenangan hidup hingga keselamatan dunia dan akhirat. 

Adalah hal yang wajar jika kemudian bulan Rabiulawal diisi dengan berbagai kegiatan keagamaan, sebagai bentuk rasa syukur atas kelahiran manusia yang membawa risalah Ilahi serta mencontohkan akhlak mulia. Pembacaan shalawat, tabligh akbar, hingga makan-makan bersama adalah ekspresi cinta kepadanya. 

Cinta terhadap Rasulullah merupakan salah satu kewajiban seorang muslim. Kecintaan kepadanya bahkan harus ditempatkan di posisi yang tinggi, melebihi cinta kepada dirinya sendiri, orang tua dan anak, apalagi sebatas harta duniawi. Sebagaimana sabdanya yang berbunyi:

Tidaklah beriman salah seorang dari kalian hingga aku lebih ia cintai daripada anaknya, orang tuanya, dan seluruh manusia.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Khalifah kedua dari khulafaurasyidin, yaitu Umar bin al-Khattab pernah menyatakan kepada Nabi bahwa dia mencintai Nabi Muhammad Saw. melebihi apa pun yang ada di dunia, kecuali dirinya sendiri. Mendengar ini, Nabi pun bersabda:

Jangan begitu. Demi Zat yang jiwaku berada dalam kuasa-Nya, (hendaklah) aku lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri.” (HR. al-Bukhari)

Ekpresi cinta dengan berbagai kegiatan, seperti disebutkan di atas, patut dan sudah sewajarnya untuk selalu dijaga dan dipupuk. Selain dapat meningkatkan rasa cinta kepada Nabi, ia juga dapat mempererat persaudaraan dan menumbuhkan semangat kebersamaan. 

Akan tetapi, cinta sejati kepada Rasulullah Saw. tidak cukup hanya dengan perayaan lahiriah, yang berhenti pada acara makan-makan dan sering kali menyisakan sampah yang menggunung. Ia harus diiring dengan usaha sungguh-sungguh untuk meneladani akhlak serta mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari. 

Refleksi: Perayaan Maulid Sebatas Repetisi Tahunan

Jika dicermati, perayaan Maulid berjalan dengan pola yang sama dari tahun ke tahun. Rangkaian acara biasanya terdiri dari pembacaan shalawat, ceramah agama, dan jamuan makan bersama. Ini merupakan kegiatan poisitif. Tetapi, tanpa adanya refleksi mendalam, peringatan Maulid berisiko menjadi rutinitas tahunan yang kehilangan ruh dan semangat tujuannya. 

Tujuan utama dari perayaan Maulid adalah menghadirkan kembali keteladanan Nabi Muhammad Saw. dalam kehidupan umat. Allah Swt berfirman:

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللّٰهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَانَ يَرْجُوا اللّٰهَ وَالْيَوْمَ الْاٰخِرَ وَذَكَرَ اللّٰهَ كَثِيْرًاۗ

Sungguh, pada (diri) Rasulullah benar-benar ada suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat serta yang banyak mengingat Allah.” (QS. Al-Ahzab: 21)

Tanpa upaya sungguh-sungguh untuk menerapkan keteladanan Nabi dalam keseharian, perayaan Maulid dapat terjebak dalam euforia sesaat. Kita berbahagia menyambut bulan kelahirannya, tetapi lupa menanamkan nilai-nilai kehidupannya dalam diri kita. 

Keteladanan Nabi untuk Menghadapi Era Informasi

Makna terdalam dari perayaan Maulid adalah menjadikannya sebagai momen refleksi untuk meneledani akhlak Rasulullah Saw. Beliau adalah pribadi yang penuh kasih sayang, jujur, penyabar, rendah hati, dan selalu berbaik sangka kepada sesama. 

Salah satu sifat dan keteladanan yang sangat relevan untuk kehidupan modern dan era informasi adalah husnuzan – berbaik sangka. Di era digital, arus informasi begitu deras dan tidak terbendung. Media sering dipenuhi dengan hoaks, ujaran kebencian, narasi menyesatkan, hingga fitnah. 

Tanpa husnuzan, seseorang bisa dengan mudah terjebak pada prasangka buruk, sikap pesimis, hingga melakukan sikap yang kemudian memicu perpecahan di tengah masyarakat. 

Rasulullah telah mengingatkan:

Hati-hatilah kalian terhadap prasangka, karena prasangka adalah sedusta-dustanya perkataan.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Dalam menghadapi arus banjir informasi, husnuzan saja tidak cukup. Ia harus disertai dengan prinsip tabayyun – melakukan verifikasi dan meneliti setiap kabar sebelum memercayai atau menyebarkannya, yang telah diingatkan oleh Allah Swt dalam firman-Nya:

Wahai orang-orang yang beriman, jika seorang fasik datang kepadamu membawa berita penting, maka telitilah kebenarannya agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena ketidaktahuan(-mu) yang berakibat kamu menyesali perbuatanmu itu.” (QS. Al-Hujurat: 6) 

Ayat ini menegaskan pentingnya kehati-hatian dalam menerima informasi. Mengamalkan tabayun berarti tidak buru-buru memercayai dan menyebarkan kabar sebelum jelas kebenarannya, apalagi jika seseorang hanya berhenti pada judul yang sering click bait, tanpa membaca keseluruhan isi berita.

Dua sifat terpuji yang diajarkan oleh Rasulullah, yaitu husnuzan dan tabayun bukan hanya relevan, tetapi sangat mendesak di era digital – di mana banyak wilayah abu-abu karena kesalahan dapat dibungkus dengan narasi memukau seakan sebuah hal yang wajar, bahkan kebenaran. Husnuzan dan tabayun dapat menjadi benteng akhlak agar umat tetap tenang dan bijak dalam menghadapi arus informasi yang kerap menyesatkan. 

Dua sifat dan sikap di atas hanya sedikit dari contoh teladan yang diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw. Banyak akhlak mulia lainnya yang dapat dijadikan ajang refleksi dalam setiap perayaan Maulid. Dengan demikian, perayaan kelahiran Nabi jauh lebih bermakna, bukan sekadar perayaan rutin tahunan yang tidak berdampak pada akhlak kita di kehidupan sehari-hari.

Taufik Kurahman, S.Ag., M.Ag., Penyuluh Agama Islam Kotabaru dan Ustadz di Cariustadz

Tertarik mengundang Taufik Kurahman, S.Ag., M.Ag.? Silakan Klik disini