Bahaya Orang Yang Berbicara Tanpa Ilmu

Tong kosong nyaring bunyinya

Air beriak tanda tak dalam

Dua peribahasa di atas menggambarkan bagaimana sebuah fenomena di mana orang yang tidak memiliki banyak ilmu sering kali justru paling banyak bicaranya. Cukup banyak orang yang merasa paling tahu, sehingga dia juga yang paling banyak bicara. Padahal, ilmu yang dimilikinya baru sedikit, tetapi berbicara seakan-akan paling mengerti.

Fenomena ini memiliki nama ilmiah yang disandarkan kepada dua orang psikolog yang pertama kali menelitinya, yaitu David Dunning dan Justin Kruger, sehingga dinamakan sebagai Dunning-Kruger Effect. Dalam serangkaian penelitian terhadap logika, tata bahasa, dan selera humor, Dunning dan Kruger menemukan bahwa orang yang kemampuannya rendah justru menilai kemampuan mereka tinggi.

Dilansir dari hellosehat.com, orang yang mengalami Dunning-Kruger Effect sedang mengalami dua masalah. Pertama, keliru dalam memberikan kesimpulan mengenai beberapa, bahkan seluruh informasi. Dan kedua, ia memiliki pengetahuan yang terbatas sehingga tidak menyadari kekeliruannya.

Belajar dari Nabi Muhammad dan Para Imam

Di antara hal yang berbahaya adalah berbicara tanpa dasar ilmu yang memadai, baik dalam pengetahuan politik, ekonomi, kesehatan, agama, dan lain-lainnya. Berbicara tanpa dasar ilmu yang cukup ini tidak hanya dilakukan oleh orang-orang awam, tetapi juga oleh orang yang dianggap pintar.

Sebagai contoh, banyak guru, akademisi, politikus, atau pendakwah yang tidak mau mengakui ketidaktahuannya ketika ditanyakan satu perkara kepadanya. Ia merasa malu jika tidak bisa menjawab dan mengakui ketidaktahuannya, apalagi jika akan berdampak pada penurunan penghormatan orang kepadanya. Sehingga, segala pertanyaan dijawab meski ilmunya belum memadai.

Padahal, Nabi Muhammad Saw. telah mengajarkan bagaimana seharusnya bersikap ketika tidak tahu. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma pernah menerangkan bahwa Nabi Muhammad Saw. tidak menjawab perkara yang belum beliau ketahui sampai wahyu ilahi turun dan menjelaskan perkara yang ditanyakan kepadanya.

Ibnu Umar menyebutkan bahwa Nabi Muhammad Saw. pernah berkata “Aku tidak tahu, tunggu hingga aku bertanya kepada Jibril.” Sehingga, Ibnu Umar pun menyebutkan bahwa ilmu ada tiga, yaitu kitab yang berbicara (al-Qur’an), sunah yang telah lewat (hadis yang benar), dan perkataan ‘aku tidak tahu’ (Ibnu Muflih, al-Aadaab al-Syar’iyyah wa al-Minh al-Mar’iyyah, jil. 2, hal. 58).

Dalam sebuah hadis, disebutkan bahwa Nabi Muhammad menyerahkan urusan suatu pekerjaan kepada ahli di bidangnya. Hal ini tercermin dalam sebuah kisah di mana beliau menjawab, “antum a’lamu bi amri dunyaakum (kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian)” kepada sekelompok orang yang sedang merawat kebun kurma (HR. Muslim, no. 2365).

Ibnu al-Jauzi meriwayatkan sebuah cerita mengenai kejujuran Imam Malik bin Anas, seorang pakar fikih yang mendirikan mazhab Maliki, ketika dia tidak menguasai akan suatu perkara:

 عن عبد الرحمن بن مهديٍ، قال: سأل رجلٌ مالك بن أنس  عن مسألة، فقال: إني لا أحسنها. فقال الرجل: إني ضربت إليك من كذا وكذا لأسألك عنها، فقال له مالك: فإذا رجعت إلى موضعك فأخبرهم أني قلت لك: إني لا أحسنها.

Aburrahman bin Mahdi berkata, “Seorang laki-laki bertanya kepada Malik bin Anas mengenai suatu perkara. Imam Malik menjawab, “Aku tidak menguasainya dengan baik.” Si laki-laki berkata, “Aku telah melakukan ini dan ini (perjalanan jauh) agar aku dapat bertanya kepadamu mengenai masalah ini.” Imam Malik menjawab, “Maka jika engkau kembali ke tempat asalmu, beritahu mereka bahwa aku berkata kepadamu ‘Aku tidak menguasainya dengan baik.” (Ta’zhim al-Fataya, hal. 87).

Bahaya Orang yang Tidak Tahu Bahwa Dia Tidak Tahu

Imam al-Ghazali dalam Ihya ‘Uluum al-Diin (jil.1, hal. 59), mengutip perkataan al-Khalil bin Ahmad, menyebutkan bahwa ada empat jenis manusia dilihat dari keilmuannya. Pertama, orang yang tahu (berilmu) dan tahu kalau dirinya tahu (berilmu). Orang jenis ini adalah mereka yang memiliki ilmu. Maka, kata al-Khalil, ikutilah ia, tanyakan dan dengarkan pendapatnya.

Kedua, seseorang yang sebenarnya tahu, tetapi tidak mengetahui bahwa dirinya sebenarnya tahu. Orang yang seperti ini seakan orang yang sedang tidur, sehingga perlu dibangunkan, disadarkan bahwa dirinya sebenarnya tahu (berilmu). Ketiga, seseorang yang tidak tahu dan tahu bahwa dirinya tidak tahu. Bagi al-Khalil, orang yang masuk kategori ini adalah mereka yang sedang membutuhkan petunjuk, sehingga patut diberi arah.

Terakhir adalah orang yang sebenarnya tidak tahu (berilmu) dan tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu. Mereka yang masuk dalam jenis manusia seperti ini biasanya bebal ketika diberitahu, merasa paling benar dan mengerti. Sehingga, al-Khalil menyebut bahwa orang jenis ini adalah yang paling buruk. “Farfadhuuhu, berpalinglah darinya.”

Manusia jenis terakhir inilah yang disebut sebagai penderita Dunning-Kruger Effect. Bukan hanya merasa lebih pintar, mereka biasanya juga susah untuk diberitahu. Lebih jauh, orang yang terkena penyakit ini bisa menyesatkan karena sebenarnya tidak memiliki keilmuan yang cukup mengenai suatu masalah.

Imam al-Ghazali juga mengingatkan bahwa orang yang tidak memiliki kapabilitas, sebaiknya jangan banyak bicara. Sebab, banyaknya pertentangan yang terjadi di antara manusia bisa saja disebabkan oleh orang-orang yang berbicara tanpa ilmu. Beliau berkata, “seandainya orang yang tidak mengerti mau diam, niscaya semakin sedikit pertentangan di antara manusia.” (Jamaluddin al-Qashimi, Qawa’id al-Tahdits min Funun Mushthalah al-Hadits¸hal.390). Wallahu a’lam.

Taufik Kurahman, S.Ag., M.Ag., Penyuluh Agama Islam Kotabaru dan Ustadz di Cariustadz

Tertarik mengundang Taufik Kurahman, S.Ag., M.Ag.? Silakan Klik disini