Healing dan Kebahagiaan dalam Pandangan Islam

Penulis pernah mendengar bahwa salah satu lingkaran setan yang sering dilakukan oleh banyak orang adalah cara healing atau mencari hiburan. Lingkaran setan (vicious circle), menurut kamus Merriam-Webster, mengacu pada argumen melingkar yang mengasumsikan kesimpulan sebagai salah satu premisnya. Istilah ini telah muncul di akhir abad ke-18 dan mulai masif digunakan lima puluh tahun berikutnya.

Istilah lingkaran setan kemudian dimaknai sebagai rantai peristiwa. Karena ia bersifat/berbentuk melingkar (circle), maka rangkaian peristiwa tersebut selalu berulang. Satu peristiwa menjadi aksi bagi peristiwa berikutnya sekaligus juga menjadi reaksi bagi peristiwa sebelumnya.

Bagaimana gambaran lingkaran setan dalam proses healing atau penyembuhan diri? Sebelum itu, healing memiliki banyak makna. Namun, dalam artikel ini healing yang akan dibahas adalah sebuah proses di mana seseorang keluar/istirahat dari rutinitas, baik karena jenuh, lelah, atau pun alasan lainnya untuk mencari hiburan atau menenangkan jiwa atau diri.

Nah, lingkaran setan dalam proses healing, misalnya, dilakukan oleh seorang pekerja. Ia bekerja untuk mendapatkan uang. Uang hasil pekerjaannya ditabung sedikit demi sedikit. Di saat ia mulai jenuh dan lelah bekerja, ia menggunakan tabungannya untuk healing, jalan-jalan atau jajan-jajan, bahkan keduanya. Setelah healing, uang tabungannya terkuras dan habis. Ia kemudian bekerja lagi untuk menabung yang akan digunakan untuk healing selanjutnya. Dan begitulah seterusnya rantai peristiwanya berulang.

Cara healing di atas bisa disebut dengan healing ‘ke luar’. Sebab, orang mencari hiburan ke luar, baik secara harfiah, yaitu keluar rumah dengan cara jalan-jalan, atau pun secara maknawi, yaitu mencari hiburan di luar dirinya. Kendati berdampak pada psikologi (batin), cara healing di atas lebih mengarah pada aspek lahiriyah.

Cara Healing dalam Islam

Islam, sebagai sebuah agama, tentunya mengajarkan cara bagaimana meraih ketentraman diri dan jiwa. Di antara beragam cara untuk mencapai tujuan ini adalah berzikir mengingat Allah Swt. Dalam surah al-Ra’d ayat ke-28 Allah menegaskan:

الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَتَطْمَىِٕنُّ قُلُوْبُهُمْ بِذِكْرِ اللّٰهِ ۗ اَلَا بِذِكْرِ اللّٰهِ تَطْمَىِٕنُّ الْقُلُوْبُ ۗ

“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, bahwa hanya dengan mengingat Allah hati akan selalu tenteram.”

Al-Syaukani dalam kitab tafsir Fath al-Qadiir (jil. 3, hal. 97) menjelaskan bahwa berzikir untuk mendapatkan ketenteraman hati tidak hanya dilakukan dengan mengucap kalimat-kalimat thayyibah, seperti membaca al-Qur’an, mengucap tasbih, tahmid, takbir, dan lain sebagainya. Zikir juga dapat dilakukan dengan cara mendengar zikir dari orang lain, sebagaimana firman Allah Swt:

Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang apabila disebut nama Allah, bergetar hatinya. Dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, bertambah (kuat) imannya. Dan hanya kepada Tuhan mereka bertawakkal.” (QS. al-Anfal[8]: 2).

Orang yang sedang berzikir senantiasa ditemani oleh Allah, sebagaimana firman-Nya, “fadzkuruunii adzkurkum (Maka ingatlah kepada-Ku, Aku pun akan ingat kepadamu)”. Juga sebagaimana salah satu hadis qudsi yang berbunyi:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: ” يَقُولُ اللَّهُ ﷻ: أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي، وَأَنَا مَعَهُ حِينَ يَذْكُرُنِي إِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي … الحديث

Aku sesuai prasangka hamba terhadap-Ku. Dan Aku bersama seorang hamba ketika dia berzikir kepada-Ku. Jika ia berzikir kepada-Ku dalam dirinya, Aku pun menyebut dirinya dalam diri-Ku… ” (HR. Muslim, no. 2677).

Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad dalam Risaalah al-Mu’aawanah (hal. 51) menjelaskan manfaat zikir. Menurutnya, sekurang-kurangnya manfaat yang didapat orang yang senantiasa berzikir adalah rasa manis dan lezat dalam hati, dua rasa yang mampu mengalahkan segala rasa kelezatan dan kesenangan duniawi. Sedangkan puncak manfaat zikir adalah rasa fana. Ia merasa fana akan dunia, bahkan dirinya sendiri, karena luar biasa dahsyatnya Dia yang diingat, yaitu Allah swt.

Kebahagiaan Puncak Menurut al-Farabi

Al-Farabi (w. 339 H) menyebutkan empat kunci untuk mencapai kebahagian puncak. Fahruddin Faiz dalam bukunya Filsafat Kebahagiaan (hal. 122) menyebutkan keempat kunci tersebut adalah keutamaan teoretis, keutamaan berpikir, keutamaan moral, dan keutamaan praksis-kreatif.

Pertama, keutamaan teoretis. Keutamaan ini berkaitan dengan ilmu. Menurut al-Farabi, kata Faiz, ilmu apa pun dapat membawa seseorang menjadi lebih bahagia. Ia yang senang matematika, akan bahagia ketika belajar matematika. Ia yang suka ilmu agama, semakin senang ketika ilmu agamanya bertambah. Hal ini juga dapat dilihat dari fakta bahwa negara-negara dengan literasi tinggi adalah negara-negara paling bahagia seperti Finlandia, Denmark, Swedia, dan lain-lainnya.

Kedua, keutamaan berpikir. Dalam kaitannya dengan healing atau mencari kebahagiaan, berpikir di sini adalah suatu proses upaya menemukan hal-hal yang penting dan baik untuk diri. Kata al-Farabi, sebut Faiz, berpikirlah hanya untuk hal-hal yang baik dan utama. Jangan memikirkan segala hal, apalagi yang tidak berkaitan langsung dengan diri kita, misalnya artis favorit yang terjerat kasus pidana, klub bola kesayangan kalah dengan skor luar biasa, dan lain sebagainya. Pikiran pada hal yang tidak penting itu hanya akan menambah beban pada jiwa.

Ketiga, keutamaan moral. Keutamaan intelektual (teoretis dan berpikir) harus diimbangi dengan keutamaan jiwa. Dalam hal ini, al-Farabi menyebut moral atau akhlak sebagai ilmu yang mempelajari kondisi jiwa manusia. Ada dua cara untuk membentuk moralitas, yaitu lewat instruksi (perintah, larangan, anjuran, nasihat, dan lain sebagainya) dan lewat pembiasaan.

Keempat, keutamaan praksis-kreatif. Pada bagian ini, keutamaan yang dimaksud adalah sebuah upaya menghasilkan kebahagiaan lewat tindakan atau sebuah karya. Karya, kata Faiz, adalah hal yang penting. Karya yang utama dihasilkan dari orang yang utama. Dan sebaliknya, orang yang tidak utama akan menghasilkan karya yang tidak utama juga. Pada akhirnya, orang yang mampu menghasilkan karya utama akan dapat memberikan kebahagiaan tidak hanya pada dirinya sendiri, tetapi juga pada diri orang lain.

Dengan demikian, mencari kebahagiaan dengan pergi keluar tentunya boleh, tetapi dengan konsekuensi terjadi lingkaran setan. Mencari kebahagiaan di dalam diri tentu lebih utama, selain akan lebih awet dan lebih murah, juga bisa dilakukan kapan pun.

Taufik Kurahman, S.Ag., M.Ag., Penyuluh Agama Islam Kotabaru dan Ustadz di Cariustadz

Tertarik mengundang Taufik Kurahman, S.Ag., M.Ag.? Silakan Klik disini