Kalau kita bicara tentang Nabi Muhammad SAW, ujung-ujungnya pasti akan menyentuh soal akhlak dan keteladanan. Karena memang, sejak dulu hingga sekarang, beliau adalah uswatun hasanah—teladan terbaik yang melampaui ruang dan waktu.
Keteladanan Nabi bukan sekadar ajakan untuk ditiru, tapi sudah menjadi kebutuhan hidup. Akhlak yang baik bukan cuma soal kewajiban moral, tapi juga kunci kebahagiaan. Dalam istilah para ulama, disebut “sababu sa‘adatika” faktor yang membuat hidup terasa lebih tenang, lapang, dan bermakna.
Keteladanan ini juga tergambar indah dalam Kitab Barzanji sebuah karya yang sekilas menceritakan sosok Nabi yang ditulis oleh Syaikh Ja’far bin Hasan bin Abdul Karim al-Barzanji disitu tuturkan bahwa Nabi adalah sosok yang sempurna lahir dan batin:
“Nabi adalah manusia paling sempurna, baik secara fisik maupun akhlaknya.”
Kemuliaan akhlak Nabi bisa dilihat dari banyak sisi, tapi ada dua hal yang bisa langsung kita jadikan inspirasi hidup.
Pertama, Nabi Muhammad Saw adalah pribadi yang melampaui sekat-sekat sosial. Baginya, kemuliaan pada setiap tidak diukur dari jabatan, kekayaan, atau status, tapi dari ketulusan hati dan kepedulian pada sesama.
Nabi tidak memperlakukan orang berdasarkan strata sosial. Setiap orang beliau temui diperlakukan dengan cinta, kasih sayang, dan penghormatan yang sama. Hubungannya dengan orang lain tak dibangun atas dasar kemanusiaan bukan pada kepentingan kepentingan.
Misalnya diceritakan bahwa
“Beliau mencintai orang-orang fakir dan miskin, duduk bersama mereka, dan menjenguk mereka ketika sakit.”
Nabi itu memberi pesan kerendahan hati itu sebagai bentuk kemuliaan. Itu sebabnya, Nabi senang dengan fakir miskin yang mungkin secara sosial sering tak dipandang oleh dunia. Dalam bahasa sekarang, Nabi itu “nongkrong” bareng orang-orang kecil, bukan untuk pencitraan, tapi karena beliau benar-benar hadir sebagai sesama manusia. Bahkan menjenguknya ketika mereka sakit.
Kadang bagi manusia merasa hanya perlu hadir untuk mereka yang punya pengaruh atau kedudukan. Tapi Nabi Saw justru membalik pola pikir itu. Ia menegaskan bahwa Islam itu agama yang mengedepan sikap egaliter (bentuk kesamaan) pada sesama manusia dan memberi rasa kebahagiaan pada orang orang yang “lemah” dengan keberadaannya.
Kedua, Nabi Muhammad juga memberikan penghormatan yang tinggi kepada orang-orang yang dimuliakan karena keutamaan yang mereka miliki. Sebagaimana disebutkan dalam Kitab Barzanji:
” Nabi Saw menyukai orang-orang mulia dan menghormati mereka yang memiliki keutamaan.”
Sikap ini menunjukkan bahwa Nabi Saw sangat menghargai kemuliaan yang lahir dari ilmu, akhlak, dan kontribusi seseorang kepada umat. Beliau memberi tempat terhormat bagi orang-orang berilmu, para sesepuh, serta mereka yang menjaga kehormatan dirinya.
Yang menarik, sikap ini tidak bertentangan dengan ketawadhuan beliau terhadap kaum fakir miskin. Nabi Saw tidak berat sebelah. Beliau bisa rendah hati kepada yang kecil, tapi juga tahu caranya memuliakan orang orang yang dimuliakan dalam lingkup sosial.
Penghormatan Nabi Saw bukan karena status duniawi semata, tapi karena nilai dan peran yang dimiliki seseorang. Artinya, orang dihormati bukan karena tampilannya, tapi karena isi dan manfaatnya.
Dengan demikian, meneladani Nabi Muhammad bukan sekadar soal meniru apa yang dilakukan, tapi mengambil pesan di balik sikap-sikapnya. Nabi mengajarkan kita untuk tidak merendahkan yang lemah dan tidak buta hormat pada yang dihormati, tapi menempatkan setiap orang pada tempat yang layak dengan hati yang tulus. Hal itu juga sebagai pelajaran bahwa jadi orang baik itu bukan soal pencitraan, tapi soal bagaimana kita hadir dan memberi arti bagi orang lain.
Mabrur Inwan, M.Ag, Ustadz di Cariustadz
Tertarik mengundang Mabrur Inwan, M.Ag? Silakan Klik disini.